Sepanjang sejarah, ada 3 fenomena bubble yang menimbulkan dampak masif di pasar global. Mulai dari Roaring Twenties, Dotcom Bubble, hingga Housing Bubble, bagaimana insiden-insiden itu bisa terjadi?
Ya, dalam Bahasa Indonesia, "bubble" berarti gelembung. Namun, jangan bayangkan bubble seperti mainan anak-anak yang dibuat dari cairan sabun lalu ditiup. Dalam ilmu ekonomi, bubble adalah istilah untuk menggambarkan situasi penurunan harga secara tiba-tiba. Keadaan anjloknya harga inilah yang disebut sebagai crash atau pecahnya bubble.
Sepanjang sejarah, ada tiga fenomena bubble terheboh yang pernah terjadi. Dampak dari ketiganya sangat terasa karena skalanya memang sangat besar. Tiga contoh bubble itu adalah Roaring Twenties, Dotcom Bubble, dan Housing Bubble AS. Penyebabnya bermacam-macam. Mari, kita bahas tuntas semuanya pada artikel di bawah ini.
DI
|
Daftar Isi |
Apa Itu Fenomena Bubble?
Bubble dalam konteks perekonomian merujuk pada perdagangan volume besar yang harganya sangat berbeda dengan nilai sebenarnya. Jadi, fenomena bubble dapat terjadi saat suatu produk atau aset diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.
Istilah "bubble" pertama kali digunakan pada tahun 1711-1720 untuk menggambarkan krisis finansial di perusahaan South Sea. Perusahaan ini menginflasikan nilai sahamnya di atas nilai yang wajar dengan harapan kenaikan harga di masa depan, tetapi tidak diiringi dengan dukungan fundamental. Akibatnya, yang terjadi adalah sebaliknya dan harga justru anjlok parah.
Para ahli ekonomi saat itu pun menyebutnya sebagai "South Sea Bubble". Layaknya gelembung mainan anak-anak, harga komoditas perusahaan South Sea melambung terlalu tinggi, tetapi mudah jatuh dan meletus seketika.
The Roaring Twenties (1929-1939)
Satu dasawarsa sejak tahun 1929 merupakan masa-masa kelam yang tak pernah terlupakan oleh warga Amerika Serikat dan dunia. Pasalnya, kala itu terjadi depresi hebat yang dikenal dengan "The Great Depression", fenomena yang mampu menyeret ekonomi dunia dalam keterpurukan hingga 10 tahun kemudian.
Pada mulanya, ekonomi AS sedang menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 1920. Bahkan, total kekayaan AS naik dua kali lipat. Masa-masa ini dikenal dengan julukan "Roaring Twenties".
Kondisi itu akhirnya membuat warga AS dari berbagai kalangan berbondong-bondong membeli saham di Wall Street. Mulai dari pebisnis, jutawan, koki, pengacara, bahkan petugas kebersihan pun menggelontorkan uangnya untuk membeli saham. Akibatnya, Wall Street melambung tinggi. Puncaknya terjadi pada Agustus 1929.
Namun, hal itu membuat produktivitas AS menurun dan jumlah pengangguran meningkat. Harga saham yang semakin tinggi kini jauh dari nilai sebenarnya. Pada saat itu, besaran gaji dan upah warga AS sangat rendah sehingga utang dari masyarakat atau konsumen membengkak. Ditambah, kondisi sektor pertanian memburuk akibat dilanda kekeringan. Perbankan juga kena imbasnya dengan jumlah pinjaman yang besar dan tidak dapat dicairkan.
Akhirnya, ekonomi AS mengalami resesi ringan selama musim panas 1929. Pertumbuhan konsumsi melambat, produksi menumpuk, tetapi harga saham tak kunjung turun.
Pada 24 Oktober 1929, para investor mulai cemas dan berbondong-bondong menjual sahamnya. Sebanyak 12.9 juta saham diperdagangkan hari itu. Akhirnya, momen itu dikenal dengan sebutan "Black Thursday". Sepekan kemudian, gelombang kepanikan yang melanda Wall Street membuat 16 juta saham diterpa aksi jual dan dikenal dengan sebutan "Black Tuesday".
Jutaan saham akhirnya menjadi tidak bernilai. Para investor yang telah membeli saham dengan uang pinjaman harus gulung tikar. Kepercayaan konsumen dan investor pun lenyap. Akhirnya, investasi anjlok dan masyarakat yang masih memiliki pekerjaan harus mengalami penurunan upah. Daya beli ikut tergerus.
Banyak warga AS yang dipaksa berbelanja secara kredit dan akhirnya terlilit utang. Titik terendah peristiwa ini terjadi pada tahun 1933, yaitu ketika 15 juta warga AS menganggur dan hampir separuh bank di Negeri Paman Sam bangkrut. Dampak Roaring Twenties tak hanya dirasakan di AS, tetapi juga pada negara-negara yang patuh terhadap Gold Standard dan berpatokan pada kurs Dolar, terutama Eropa.
Dotcom Bubble (1994-2000)
Contoh bubble terheboh di dunia berikutnya adalah Dotcom Bubble, peristiwa yang menggemparkan dunia internet sepanjang sejarah. Pada saat itu, pertumbuhan internet sangat cepat, tetapi tidak berbanding lurus dengan keberhasilan perusahaan startup digital. Banyak perusahaan yang sukses, tetapi kandas begitu saja dalam waktu singkat. Misalnya, Pets.com yang hanya bertahan selama 9 bulan sebelum bangkrut, diikuti dengan Boo.com, Webvan, dan perusahaan telekomunikasi lainnya.
Dotcom Bubble bermula dari perkembangan pesat teknologi yang menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan berbasis internet (dotcom). Saat iyu, Internet diperlakukan sebagai inovasi baru yang menguntungkan banyak pihak.
Salah satu perusahaan internet yang sangat yakin melepas saham ke publik adalah Netscape, browser yang sejajar dengan Internet Explorer. IPO Netscape bahkan ditutup pada nilai USD58.25 miliar dengan valuasi perusahaan sebesar USD2.9 miliar. Hal ini kemudian diikuti oleh Excite, Lycos, dan Yahoo.
Namun karena fundamental perusahaan-perusahaan tersebut tak sepadan dengan nilai sahamnya yang tinggi, bubble pun akhirnya pecah juga. Lebih dari 100,000 karyawan perusahaan dotcom kehilangan pekerjaan sejak tahun 2000. Dua tahun kemudian, Indeks NASDAQ jatuh sampai 75 persen. Akhir tahun 2002, diperkirakan para investor telah kehilangan sebanyak USD5 triliun akibat fenomena bubble ini.
Pada masa itu, saham perusahaan internet turun sebanyak 75 persen. Namun, ada juga yang masih bertahan seperti Amazon, Oracle, Cisco, eBay, hingga Intel.
Housing Bubble (2000-2007)
Beberapa waktu setelah Dotcom Bubble, The Fed mulai menurunkan suku bunga AS. Diikuti dengan longgarnya pinjaman, peristiwa ini pun memicu Housing Bubble di AS. Banyak yang membanjiri pasar real estate karena harga hipotek yang murah serta mudah didapat. Harga perumahan pun naik ke rekor tertinggi dan Housing Bubble terbentuk.
Hal ini juga didukung oleh adanya kebijakan pemerintah yang mendorong kredit ke sektor perumahan melalui deregulasi sektor keuangan. Lembaga keuangan menciptakan "produk" pinjaman rumah baru, termasuk pinjaman subprime kepada kreditur yang memiliki risiko kredit buruk. Bank-bank besar dan hedge funds mengemas ulang pinjaman berisiko tinggi ini menjadi sekuritas berbasis mortgage (MBS) dan derivatif yang kemudian diperdagangkan secara spekulatif di pasar finansial.
Housing Bubble yang kemudian dikenal sebagai pasar subprime mortgage, pecah pada tahun 2007 karena kenaikan suku bunga. Sejumlah pembeli rumah gagal bayar dan berujung pada kolapsnya pasar finansial global pada tahun 2008. Besarnya kredit yang macet menjadi semakin jelas. Resesi hebat yang diakibatkannya membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan aset mencapai USD14 triliun.
Penyebab Terjadinya Fenomena Bubble
Dari 3 kasus di atas, jelas bahwa faktor-faktor yang mempercepat terjadinya fenomena bubble adalah spekulasi liar, perilaku irasional investor, dan perilaku FOMO. Investor cenderung mengabaikan margin aman dan membeli aset tanpa melalui kajian yang mendalam. Ketika bubble pecah, harga aset akan turun secara dramatis. Jika diuraikan, berikut adalah tanda-tanda bubble yang perlu Anda waspadai agar tak terjerumus dalam risiko bubble berikutnya:
Likuiditas Berlebihan
Likuiditas yang berlebihan dapat menyebabkan syarat mendapatkan pinjaman menjadi longgar. Akhirnya, terjadi banyak spekulasi jangka pendek yang membuat pasar menjadi rentan terhadap inflasi harga aset yang bergejolak.
Sederhananya, fenomena bubble bisa terjadi ketika ada terlalu banyak uang, tetapi asetnya sedikit. Hal ini memicu peningkatan nilai suatu aset secara berlebihan sampai di luar batas sewajarnya. Setelah bubble "pecah", nilai tersebut akan runtuh sehingga menghentikan skema investasi dan mengarah pada krisis kepercayaan konsumen serta investor. Di sinilah peran bank sentral akan dibutuhkan untuk stabilisasi.
Beberapa ahli ekonomi menyebut bahwa fenomena bubble ekonomi sama saja dengan bubble kredit. Mereka memperhitungkan rasio utang terhadap GDP. Jika runtuh, hal itu akan menghasilkan kontraksi ekonomi yang disebut sebagai resesi, atau yang lebih parah lagi: depresi.
Faktor Sosial dan Psikologi
Selain dari segi moneter, penyebab fenomena bubble juga bisa dari faktor sosial dan psikologi investor. Beberapa di antaranya adalah:
- Spekulasi liar, yaitu kegiatan spekulasi berlebihan dan cenderung irasional yang dilakukan oleh investor atau pelaku pasar dalam membeli aset dengan harapan mendapatkan keuntungan besar dalam jangka pendek.
- Herd behavior, adalah suatu tindakan mengikuti arus atau trend yang dilakukan oleh sekelompok besar investor sehingga menyebabkan harga aset terus meningkat. Herd behavior terkadang juga disebut sebagai "teori kebodohan". Meski belum diteliti secara empiris, masyarakat China mengamini teori ini sebagai penyebab fenomena bubble di negaranya.
- Kegembiraan irasional, yaitu keadaan ketika pasar terlalu optimis terhadap kinerja ekonomi atau potensi keuntungan dari suatu aset sehingga membuat harga melonjak signifikan tanpa alasan yang jelas.
Ketika faktor-faktor di atas saling bertemu, maka bubble ekonomi bisa terbentuk. Lama-kelamaan, akan terjadi kenaikan harga aset yang tidak sebanding dengan nilai sebenarnya. Namun ketika bubble pecah, maka harga akan turun drastis dan menyebabkan krisis ekonomi berskala luas.
Baca juga: Benarkah Bubble Emas Telah Pecah?
Kesimpulan
Selain tiga contoh bubble di atas, masih ada fenomena bubble lain yang pernah terjadi. Misalnya, Tulip Mania (1637), South Sea Bubble (1720), Mississippi Bubble (1720), spekulasi saham kereta api Inggris (1840), spekulasi tanah Florida (1925), Nifty Fifty (akhir 1960-awal 1970), spekulasi saham Poseidon (1970), bubble aset Jepang (1986-1990), dan krisis finansial Asia (1997). Aksi FOMO yang membuat banyak investor berbondong-bondong ke pasar dapat Anda waspadai sebagai awal risiko penurunan, seperti yang tampak pada ketiga contoh bubble terheboh di dunia seperti di atas.
Seperti yang sudah dijelaskan, fenomena bubble bisa terjadi pada aset finansial manapun, termasuk juga mata uang kripto yang saat ini banyak dilirik di kalangan investor muda. Untuk mewaspadainya, Anda bisa belajar mengenai bahaya bubble kripto di sini.