Bitcoin Crash 2022 berawal dari banyak hal dan penyebabnya tidak hanya satu. Agar lebih jelas, artikel ini juga akan membandingkan Bitcoin Crash 2022 dengan peristiwa crash sebelum-sebelumnya.
Jika Anda telah kehilangan puluhan atau bahkan ratusan juta dari investasi kripto selama 2022, maka Anda termasuk satu dari jutaan orang yang menjadi korban Bitcoin Crash yang secara umum juga disebut cryptocrash.
Berbeda dengan fenomena koreksi pasar saham yang terjadi hampir setiap hari, cryptocrash terjadi ketika harga mayoritas mata uang kripto jatuh hampir berbarengan dan berlangsung selama berbulan-bulan.
Cryptocrash semacam ini bukan pertama kali terjadi, dan jelas bukan yang terakhir kali. Fenomena ini sudah pernah terjadi beberapa kali sejak Bitcoin lahir hingga sekarang. Itu artinya, ada kemungkinan bahwa hal ini termasuk ke dalam siklus pasar kripto.
Lalu, apa beda Bitcoin Crash yang sekarang dengan beberapa crash sebelumnya sehingga banyak investor memilih menarik diri dan keluar total dari pasar?
DI
|
Daftar Isi |
Apa Itu Crash?
Sebelum kita membedah alasannya, kita perlu memahami dulu, apa sih sebenarnya crash itu?
Dalam definisi praktisnya, sebuah crash terjadi ketika nilai aset pada suatu pasar mengalami penurunan lebih dari 10% dan berlangsung lebih dari satu hari. Jatuh dalam hal ini berarti berubah mendadak dari yang awalnya positif atau sideways menjadi terkoreksi tajam secara tiba-tiba.
Baca Juga: Pasar Kripto Bearish, HODL atau Jual?
Penyebab sebuah crash biasanya bisa dilihat dari hal-hal berikut:
- Terjadi peristiwa negatif yang mempengaruhi daya beli atau iklim investasi.
- Berkurangnya likuiditas di pasar.
- Jumlah aset yang berkurang drastis atau terbatas.
- Regulasi baru yang merugikan pasar, investor, atau ekonomi secara keseluruhan.
Nah, dalam hal Bitcoin Crash 2022, hampir semua faktor di atas berpengaruh dan benar terjadi. Akan tetapi, banyak pakar yang menyebut bahwa insiden kali ini berbeda dengan peristiwa crash sebelumnya. Sebagai perbandingan, mari kita telusuri dulu insiden crash yang pernah terjadi di pasar kripto.
Beberapa Peristiwa Cryptocrash Terdahulu
Sejak Bitcoin diperkenalkan pada 2008, telah terjadi beberapa kali kejatuhan pasar atau Bitcoin Crash yang mengakibatkan harganya gugur hingga investor kehilangan jutaan Dolar. Begini sejarahnya:
Bitcoin Crash 2011
Pada April 2011, Bitcoin mencapai milestone harga pertama di harga $1. Dan pada 8 Juni 2011, permintaan tinggi dan adopsinya yang meluas membawa harga BTC naik terbang hingga 3200%, tepatnya ke level $32.
Penggemar BTC yang semakin menembus batas geografi membuat permintaannya terus naik. Banyak investor bersorak. Namun hanya beberapa hari setelah kegirangan dan hype, pasar berbalik bearish.
Harga BTC anjlok hingga ke jurang $0.01. Pakar menyebutkan bahwa pemicu Bitcoin Crash 2011 adalah dibobolnya sistem keamanan jaringan pada exchange Mt. Gox di Jepang yang menghilangkan BTC senilai $850,000 dari pasar.
Baca Juga: 5 Kasus Penyalahgunaan Kripto Yang Menggegerkan Dunia
BTC kehilangan 99% dari nilainya, dan peristiwa ini dikenang sebagai Bitcoin Crash pertama. Butuh waktu 2 tahun hingga nilai BTC kembali ke level $32 pada Februari 2013.
Bitcoin Crash 2013
Setelah pulih pada bulan Februari 2013, harga BTC terus menanjak seiring permintaannya yang mulai matang menuju pertumbuhan konsisten. Rally harga BTC berlangsung hingga pada November 2013 ketika berhasil menyentuh level $1000.
Sayangnya, angka tersebut menjadi All-Time-High hanya sebentar, karena BTC menggelinding ke $700 hanya dalam waktu sebulan. Pemicunya datang dari kebijakan Bank Sentral China yang melarang penggunaan Bitcoin untuk kegiatan-kegiatan ekonomi penting dalam sistem mereka. Sehingga, bank-bank dan institusi keuangan lainnya di China dilarang mengakui BTC sebagai alat pembayaran ataupun memfasilitasi penggunaannya.
Bitcoin Crash 2013 ini pun berlangsung selama 2 tahun hingga 2015, ketika BTC kembali terjerembab ke new low di sekitar $170.
Baca juga: Harga Bitcoin Hari Ini
Cryptocrash 2018
Pada 2018, beberapa proyek altcoin pilot mulai bermunculan, sementara Bitcoin masih merajai pasar kripto dan menjadi benchmark alias patokan harga jual/beli bagi aset kripto lainnya. Sebagai koin pelopor, BTC mengantongi permintaan yang terus naik.
Popularitasnya yang meningkat terus membuat semakin banyak orang terlibat dalam kripto, sehingga semakin besar pula nilai investasi dan kapitalisasi pasar Bitcoin. Potensi bubble sebenarnya mulai terlihat sejak akhir 2017, ketika harga Bitcoin menanjak dari $1000 ke $20,000 hanya dalam waktu 1 tahun.
Benar saja. Sesuai prediksi banyak pakar keuangan, harga BTC terkoreksi dan mengalami crash setelah menyentuh level All-Time-High. Harga-harga kripto pun terpangkas sebesar 60%.
Para pakar menyebut cryptocrash 2018 sebagai "crypto winter", dan BTC menghuni level $3200 selama beberapa waktu. Selain bubble yang pecah, cryptocrash 2018 juga dipicu oleh kegagalan likuiditas di platform Coincheck setelah di-hack dan menanggung kerugian $530 juta. Apalagi, beberapa perusahaan terkemuka seperti Google dan Facebook memblokir media iklan ICO pada saat itu.
Baca Juga: Mengapa Sebagian Besar ICO Gagal?
Bitcoin Crash 2021
Pada awal 2020, virus COVID-19 merebak dan tidak lama setelahnya WHO mendeklarasikan situasi darurat kesehatan (pandemi) di seluruh dunia. Kepanikan terjadi di seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah hingga investor, terutama pemilik mata uang kripto yang berisiko tinggi.
Pembatasan mobilitas yang terjadi hampir di seluruh dunia karena wabah COVID-19 mengakibatkan keputusan investasi dikaji ulang dan difokuskan pada aset-aset yang lebih aman, dengan volatilitas lebih stabil, seperti emas dan minyak.
BTC dkk. sempat mencapai All-Time-High baru di level $63,000 pada April 2021, tetapi kampanye negatif terkait mining Bitcoin yang tidak ramah lingkungan dan risiko COVID-19 membuat investor mulai cabut dari sebagian besar aset kripto.
Bitcoin pun terkoreksi hingga terjebak di level $29,000 selama beberapa bulan. Terlebih lagi, pengusaha nyentrik Elon Musk membuat kehebohan karena membatalkan kebijakan menggunakan Bitcoin untuk pembelian Tesla. Bitcoin Crash 2021 ini berlangsung selama beberapa bulan sebelum harga BTC akhirnya rebound dan melonjak hingga $68,000 pada bulan November tahun itu.
Cryptocrash 2022
Bagai mimpi buruk yang berulang, puncak tertinggi harga Bitcoin pada $68,000 di November 2021 ternyata tidak bertahan lama. Pada awal 2022, cryptocrash pun terjadi.
Setelah rally tajam di awal tahun, harga Bitcoin anjlok dan terus menerus merosot sampai ke level $20,000 di bulan Juni 2022; level terendah sejak terjadi crash 2020. Penurunan masif ini tidak hanya terbatas pada Bitcoin, tetapi juga altcoin lagi terutama Terra LUNA yang menjadi salah satu biang crypto winter 2022. Sebanyak lebih dari 1.2 triliun dana investor amblas pada cryptocrash kali ini, dan banyak yang berpendapat bahwa kondisi ini akan berlangsung cukup lama.
Mengapa Bitcoin Crash 2022 Dianggap Beda dengan Sebelumnya?
Meskipun bukan merupakan yang pertama, banyak pakar berpendapat bahwa cryptocrash 2022 ini berbeda dengan beberapa crash sebelum-sebelumnya. Pertama-tama, optimisme pemulihan pada tahun ini tidak sama besarnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Banyak yang harus exit dan 'kapok' mencoba kripto, terutama karena atmosfer pasar secara global lebih lesu. Beberapa perusahaan kripto pun sampai benar-benar mengalami kerugian finansial hingga akhirnya bangkrut.
Beberapa alasan lain yang bisa menjelaskan di antaranya:
1. Bubble sejak 2021
Seiring pemulihan dari crash 2020, pasar kripto mengalami permintaan yang sangat tinggi sehingga membentuk bubble baru pada akhir 2021.
Banyak investor tidak langsung menjual BTC atau altcoin mereka begitu harga menyentuh level tertinggi sepanjang masa di $68,000. Alih-alih menjual, mereka memutuskan HODL dengan berharap kenaikannya akan berlanjut dan bisa menyentuh level $70,000.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Harga BTC dan altcoin tergelincir dari puncak lalu terjerembab. Mereka yang memilih HODL kehilangan jutaan Dolar, lalu kemudian menyesal.
Baca Juga: Cara Tepat HODL Kripto Yang Perlu Kamu Tahu
2. Krisis pada Stablecoin
Banyak yang mengandalkan stablecoin untuk menyeimbangi volatilitas BTC dan altcoin. Akan tetapi, kestabilan koin-koin yang mayoritas berpegang nilai pada Dolar AS ini ternyata bisa goyah juga.
Salah satu penyebab cryptocrash 2022 yang dinilai konkret dan nyata adalah runtuhnya likuiditas stablecoin TerraUSD Classic (USTC). Padahal, koin ini merupakan stablecoin paling populer setelah USDT dan USDC. Setelah nilai TerraUSD merosot di bawah level $1 dan berangsur meredup di level nol koma, pengelolanya panik dan tidak bisa melakukan pemulihan. Beberapa lender ternama yang mengandalkan likuiditas USTC pun harus ikut menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Celcius, yang pada awal 2022 mengumumkan telah membekukan penarikan dana sementara hingga pasar kembali pulih dan likuiditas mereka keluar dari zona bahaya.
3. Inflasi
Situasi ekonomi AS di masa pemulihan COVID-19 ternyata tidak begitu optimistis dan justru masuk ke jurang resesi. Di sisi lain, nilai inflasi naik tinggi hingga menyentuh angka 4.9% pada musim panas 2022, dipicu oleh krisis suplai global karena konflik di Eropa dan harga minyak dunia yang terus menanjak. Untuk merespon kepanikan karena harga-harga mahal dan daya beli masuk ke fase terancam krisis, The Fed menaikkan suku bunga acuan hingga berkali-kali.
Suku bunga acuan yang tinggi ini membujuk banyak investor kripto untuk menarik dananya dari aset volatilitas tinggi seperti Bitcoin ke dalam moda investasi dan tabungan yang lebih stabil, yakni Dolar atau uang fiat, emas, komoditas, obligasi, dan lain sebagainya.
Pasar kripto pun terkoreksi karena respon perilaku masyarakat yang menginginkan kestabilan ekonomi menyongsong potensi resesi dan krisis ekonomi.
4. Perang Rusia-Ukraina
Dalam waktu beberapa bulan, rantai pasokan global hancur-lebur akibat peperangan yang berkelanjutan antara Rusia dan Ukraina. Minyak, gandum, daging domba, dan berbagai jenis kebutuhan pokok lainnya mengalami penurunan suplai. Bahkan, pipa gas Nordstream 1 yang menghubungkan minyak Rusia di Laut Mati dengan daratan Eropa sempat terhenti karena provokasi perang.
Provokasi geopolitik Rusia dianggap berbahaya bagi hubungan internasional Eropa di masa depan, sehingga megaproyek pipa gas Nordstream 2 yang awalnya ditargetkan sebagai pasokan tambahan, justru kini dihentikan.
Di pasar kripto, kepanikan global semacam ini berpengaruh lebih banyak pada aliran likuiditas dan minat berinvestasi. Karena ekonomi global masa depan dianggap akan terjebak dalam jurang resesi dalam waktu lama, dana likuid pun semakin terbatas. Banyak orang lebih memilih untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi, sehingga menyimpan uang sebagai dana cadangan pribadi daripada diinvestasikan ke aset high risk high return seperti kripto.
Baca juga: Mengenal Strategi Investasi Defensif
5. Efek Psikologis Crash
Setelah mengalami crash, banyak orang semakin ragu dengan kemampuan Bitcoin dkk. untuk bangkit dan pulih. Dengan ancaman yang bertubi-tubi dan berkelanjutan pada tatanan ekonomi dunia khususnya di Eropa, sebagian orang menganggap level psikologis BTC saat ini sudah memasuki zona rawan dan lebih memilih mengamankan dananya.
Tak bisa dipungkiri, nilai tukar BTC dan koin-koin lainnya masih berkorelasi dengan Dolar AS, sehingga peristiwa krisis ekonomi global mau tidak mau akan berdampak pada keputusan membeli atau menjual aset crypto.
Efek psikologi crash masih berlanjut hingga memasuki kuartal ketiga 2022, dan belum ada tanda-tanda pemulihan ke arah normal hingga bulan Agustus ini. Orang lebih memilih memegang uang Dolar yang nyata, sehingga pasar kripto harus lebih bersabar dan mengumpulkan kekuatannya sedikit demi sedikit.
Beberapa pihak menilai Bitcoin Crash 2022 sebagai "end of crypto" karena penurunannya yang terlalu tajam dan terjadi bersamaan dengan situasi kelam ekonomi global.
Meski begitu, golongan optimis percaya pada masa depan kripto dan menganggap bahwa cryptocrash 2022 justru merupakan wujud dari seleksi alam. Kelak jika pasar berbalik pulih, ada kemungkinan Bitcoin akan kembali menyentuh level lebih tinggi atau All-Time-High terbaru.
Pertimbangan lainnya, pengembangan teknologi Decentralized Organization (DAO), proof of stake, dan teknologi Web3 akan menjadi awal penggunaan aset-aset kripto pada berbagai bidang penting yang lebih luas dalam ekonomi masyarakat.