Diversifikasi adalah resep mujarab di kalangan investor. Bagaimana prakteknya bila ini diterapkan pada P2P lending? Adakah kiat efektif untuk membiakkan dana dengan aman dan berkelanjutan?
Ungkapan "jangan meletakkan semua telur dalam satu keranjang" begitu populer di dunia investasi. Dana yang tersedia memang sepatutnya jangan dialokasikan dalam satu instrumen investasi demi menghindari situasi "keranjang jatuh", yang akan mengakibatkan investor babak belur kehilangan modalnya. Jadi, tak heran jika para perencana keuangan pribadi (financial planner) menyarankan diversifikasi secara konsisten dan berkelanjutan.
Aset kertas dapat dipilah-pilah mulai dari saham, obligasi, reksadana, kontrak berjangka hingga deposito. Adapun yang non-kertas umumnya berupa kegiatan yang sifatnya riil seperti properti, bisnis, atau pun mengoleksi logam mulia. Selain itu, beragam kreativitas kekinian bila diberdayakan dengan tepat pun dapat menjadi peluang aset di masa depan. Sebut saja misalnya menjadi Youtuber/vlogger, podcaster, menjadi penjual barang atau jasa di marketplace, dan sebagainya.
Semakin gencar melakukan diversifikasi, maka investor akan semakin terhindar dari kemungkinan buntung akibat kegagalan investasi pada satu jenis instrumen. Nah, dalam kaitan ini, alternatif membiakkan uang dengan menjadi lender pada platform fintech peer-to-peer-lending (P2P lending) kini semakin diminati, terutama oleh investor milenial.
Baca juga: Alasan Milenial Investasi di P2P Lending
DI
|
Daftar Isi |
Panduan Diversifikasi di P2P Lending
Berbasiskan teknologi dengan fokus utama pada pemberdayaan UMKM, P2P lending umumnya memiliki misi menghubungkan pelaku usaha mikro dengan pemodal secara online. Seperti diketahui, banyak pengusaha mikro dan kecil yang kesulitan mendapatkan modal usaha akibat keterbatasan jaminan, fluktuasi pendapatan, dan ketiadaan sejarah kredit.
Namun, kendala itu kini dapat dimitigasi seiring pemanfaatan teknologi yang tepat plus semangat gotong royong. Dalam kalimat yang lebih formal, melalui pendanaan online melalui platform microfinance, kalangan investor sebenarnya memutar modal mereka dalam rangka diversifikasi, mendongkrak tingkat imbal hasil sekaligus menciptakan dampak sosial yang diharapkan mampu mendukung soliditas perekonomian nasional.
Dalam hubungannya dengan imbal hasil, platform microfinance yang dewasa ini tumbuh bak jamur di musim hujan pun tak segan-segan menawarkan bunga yang kompetitif bagi para pemodal. Besarannya per tahun secara umum berkisar antara 10 hingga 15 persen, dan ada juga yang mendekati 20 persen, tergantung sejumlah faktor yang terkait dengan kondisi dan "rating" si peminjam dana.
Lantas bagaimana bila investor sedang apes di mana dananya ternyata tak bisa dikembalikan oleh pihak UMKM yang berstatus sebagai borrower? Secara teknis keuangan, situasi tersebut disebut sebagai default atau gagal bayar. Menghadapi kondisi tak mengenakkan ini, mau tak mau memang sejak awal investor harus sudah memperhitungkannya. Sehingga di sini peran diversifikasi menjadi strategis dan tak bisa diremehkan.
Mari kita lakukan perbandingan antara investor awam yang tak melakukan diversifikasi di P2P lending dengan pemodal yang cermat dan berdiversifikasi.
Baca juga: 5 Tips Diversifikasi Portofolio Investasi
Tanpa Diversifikasi
- Pendanaan: Rp100 juta
- Bunga: 20% per tahun
- Tenor: 12 bulan
- Jika Pinjaman Lunas: Dalam kondisi normal di mana UMKM dapat membayar angsuran dengan teratur dan melunasi pinjamannya, maka di akhir periode, pemodal akan memperoleh total pokok plus pengembalian sebesar Rp120 juta.
- Jika Pinjaman Default: Bila terjadi gagal bayar dan pinjaman hanya terbayar 70%, maka di akhir periode, investor akan mendapatkan total pokok plus pengembalian sebesar Rp84 juta.
Terlihat dari contoh di atas bahwa tingkat pengembalian yang diperoleh pemodal berisiko turun drastis dan bahkan mengalami kerugian bila terjadi default.
Dengan Diversifikasi
- Pendanaan: Rp100 juta
- Bunga: 20% per tahun
- Tenor: 12 bulan
- Jika pemodal mendanai sepuluh UMKM: Maka dengan satu pinjaman yang gagal bayar pada akhir periode dan hanya terbayar 70%, di akhir periode ia akan mendapatkan total pengembalian sebesar Rp116.4 juta. Dalam hal ini pengembalian sebesar 16.4%.
-
Jika pemodal mendanai seratus UMKM: Maka dengan lima pinjaman yang gagal bayar pada akhir periode dan hanya terbayar 70%, di akhir periode ia akan memperoleh total pengembalian sebesar Rp118.2 juta. Tingkat pengembalian sebesar 18.2%.
Untuk memudahkan perhitungan dan mendapatkan gambaran secara umum, silakan gunakan kalkulator P2P Lending.
Pendanaan Ulang atau Reinvestasi
Selain diversifikasi yang bertujuan meminimalkan risiko, terdapat upaya lain yang dapat dilakukan oleh pemodal demi memaksimalkan tingkat pengembaliannya, yaitu melakukan pendanaan ulang atau reinvestasi. Prinsip yang dipakai di sini adalah compounding interest, yakni hasil keuntungan yang diperoleh sengaja diputar ulang atau disalurkan kembali kepada pinjaman baru.
Kita gunakan kembali contoh di atas, di mana pemilik modal berencana memberikan pendanaan Rp100 juta di P2P lending dengan suku bunga 20% dan tenor satu tahun dengan asumsi tidak terjadi gagal bayar.
Tanpa Pendanaan Ulang
Setelah 12 bulan, investor akan mendapatkan pengembalian sebesar Rp120 juta yang dikembalikan setiap bulannya sebesar Rp10 juta (Rp8.33 juta pokok dan Rp1.67 juta bunga). Pengembalian di sini bersifat flat karena hasil yang diperoleh tidak diinvestasikan kembali. Dengan kata lain, jumlah pengembalian yang diterima investor sama setiap bulannya.
Dengan Pendanaan Ulang
Bila pemodal meminjamkan kembali Rp10 juta per bulan kepada peminjam dengan profil yang sama, maka pada bulan berikutnya ia akan mendapatkan pengembalian sebesar Rp11 juta (Rp10 juta dari pinjaman pertama dan Rp1 juta dari pinjaman kedua).
Jika investor kemudian menyalurkan lagi pengembalian Rp11 juta yang diterimanya itu kepada peminjam selanjutnya, maka pada bulan ketiga ia akan mendapatkan pengembalian sebesar Rp12.1 juta (Rp10 juta dari pinjaman pertama, Rp1 juta dari pinjaman kedua, dan Rp1.1 juta dari pinjaman ketiga).
Bila investor secara konsisten melanjutkan skema ini hingga bulan ke-12, maka tingkat pengembaliannya akan terus bertambah.
Keamanan dan Risiko Investasi P2P Lending
Terlepas dari strategi divestasi maupun reinvestasi seperti dicontohkan di atas, satu hal mendasar yang patut jadi pertimbangan awal pemilik modal adalah faktor keamanan berinvestasi via P2P lending. Untuk itu, selalu pastikan terlebih dahulu apakah platform pendanaan sudah terdaftar Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. Seperti diketahui, dari waktu ke waktu, lembaga ini selalu mengeluarkan rilis terkait penambahan atau pengurangan sejumlah P2P lending sehingga investor tak perlu lagi menebak-nebak apakah platform yang dimasukinya legal atau ilegal.
Selain itu, ada baiknya juga pendana mengecek rekam jejak setiap P2P lending guna mendapatkan perspektif sejauh mana kredibilitas sebuah "marketplace pendanaan" dari sisi pengalaman, interaksi antara lender dengan pengelola, hingga bagaimana mitigasi risiko ketika sebuah pinjaman terancam default. Pelajari juga dari awal berapa persen tingkat pengembalian yang sebenarnya ditanggung oleh seorang peminjam karena ini, tentu saja, untuk menakar seberapa banyak pihak P2P lending "mengambil jatahnya" dari setiap pinjaman yang bergulir.
Baca juga: Aplikasi P2P Lending Terbaik dan Terpercaya di Indonesia
Selanjutnya, pemodal juga harus mengasah kewaspadaan terkait risiko investasi via P2P lending. Hal ini tentu dalam rangka kehati-hatian terkait upaya membiakkan dana di kelas aset apa pun yang dipilihnya.
Sejumlah risiko terkait investasi P2P lending di antaranya:
-
Risiko pada Tingkat penjaminan
Ini terkait dengan kemungkinan gagal bayar seorang peminjam, potensi macetnya cicilan atau munculnya tunggakan. Kecuali ada skema asuransi yang diikutsertakan sejak awal, maka risiko ini sepenuhnya ditanggung oleh investor dan pengelola P2P lending tidak bisa dipersalahkan atau dimintai pertanggungjawabannya.
-
Risiko pada Tingkat Platform
Ini terkait soliditas operasi sebuah "marketplace pendanaan". Semakin lama eksis, sebuah P2P lending logikanya sudah dapat mengelola aliran informasi yang dikumpulkannya dari sisi lender maupun borrower. Yang patut dipastikan di sini adalah kesanggupan platform memfasilitasi pinjaman yang ramah secara administrasi maupun prosdur bagi semua pihak, serta kesanggupannya menjaga kerahasiaan data.
-
Risiko pada Tingkat Regulasi
Ini berhubungan dengan seberapa jauh komitmen otoritas untuk memastikan bahwa kegiatan pinjam meminjam di P2P lending aman, nyaman, dan sama-sama memberikan manfaat sosial serta ekonomi bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
-
Risiko pada Tingkat Perekonomian
Ini ada hubungannya dengan kondisi makroekonomi di sebuah negara, yang cepat atau lambat akan berdampak pada semua kelas aset, baik kertas maupun non-kertas.
Rekomendasi dan Saran
Diversifikasi investasi mutlak perlu dilakukan oleh pemodal dalam upayanya memitigasi risiko sekaligus mengoptimalkan tingkat pengembalian.
Risiko investasi via P2P Lending sebenarnya tak bisa dikatakan kecil karena dalam hal terjadi gagal bayar, maka pemodal akan menjadi pihak yang paling dirugikan, terlebih lagi bila tidak ada skema asuransi yang diikutsertakan di dalamnya. Patut dipahami bahwa peminjam dana umumnya adalah kalangan yang minim aksesnya terhadap perbankan.
Dengan kata lain, kalau bank yang fungsi utamanya sebagai lembaga perantara pinjaman saja masih pikir-pikir untuk menyalurkan kredit kepada satu pihak karena alasan risiko, mengapa investor yang jelas-jelas tak memiliki fungsi intermediasi malah berani mengambil risiko memberikan pinjaman?
Hal ini patut jadi bahan renungan karena bagaimana pun, iming-iming tingkat pengembalian tinggi bukanlah segalanya. Prinsip kehati-hatian tetap harus dikedepankan oleh pemodal, di mana pengelolaan dana harus dipandang sebagai bisnis pribadi yang sedapat mungkin mengarah pada keberkelanjutan di masa mendatang dengan risiko terukur.
Dalam skala regional maupun global, ada baiknya dicermati beragam komplain terkait P2P lending. Salah satunya berhubungan dengan ketidakmampuan sebagian platform - bahkan di sejumlah negara maju sekali pun - mengantisipasi kapasitas infrastruktur yang dibutuhkan terkait operasional mereka. Sering ditemukan situasi di mana kalangan investor harus gigit jari berhari-hari lantaran terus berkurangnya peminjam karena berbagai alasan.
Tambahan lagi, keluh kesah bermunculan bahwa dari waktu ke waktu tingkat pengembalian yang ditawarkan semakin berkurang; tak sebanding dengan awal-awal ketika platform pendanaan memulai usahanya. Bagaimana pun, menipisnya imbal hasil tentu bukanlah kabar baik dari sisi kepentingan investor, sementara pihak platform terkesan seolah-olah mengabaikan situasi ini.
Dalam beberapa kasus, ada juga satu dua "marketplace pendanaan" yang entah karena pertimbangan apa perlahan-lahan berganti lingkup usaha menjadi lebih umum atau lebih khusus; ini berpotensi membuat investor bertanya-tanya akan keberlanjutan diversifikasi investasi via P2P lending tersebut.
Bagi Anda yang tertarik investasi P2P lending tetapi masih ragu karena hukumnya secara syariat, saat ini sudah terdapat beberapa aplikasi P2P lending syariah yang ulasannya bisa dipelajari di sini.