Greenback tertekan karena sejumlah data ekonomi global yang rilis beberapa waktu belakangan ini. Namun, dolar AS masih unggul terhadap pound.
Indeks dolar (DXY) terperosok pada hari Rabu (01/Maret) karena sejumlah data ekonomi global yang terus membaik. Dolar sempat mencoba pulih namun gagal karena arus jual masih dominan.
Baca juga: Dolar Terkoreksi, Penguatan Euro dan Emas Belum Solid
Penyebab anjloknya dolar yang pertama adalah data PMI Manufaktur dan Jasa China yang dilaporkan pulih pada bulan Februari. Prospek cerah pertumbuhan China langsung mendorong penguatan mata uang antipodean seperti dolar Australia dan dolar New Zealand terhadap greenback
"Data PMI Manufaktur China yang terbaru mengonfirmasi terjadi rebound pada perekonomian China sehingga menjadi katalis positif yang mendongkrak sentimen risk-on. Hal inilah yang menempatkan dolar pada posisi defensif," kata Niels Christensen, kepala analis Nordea dalam sebuah catatan.
Selain inflasi China, pasar juga dikejutkan oleh Inflasi Perancis dan Spanyol yang berakselerasi lebih cepat dari ekspektasi. Di samping itu, data inflasi lima negara bagian Jerman bertahan di dekat level tertinggi. Hasilnya, tingkat inflasi Jerman bertahan pada 8.7% (Year-over-Year). Situasi ini membuat pasar optimis akan prospek kenaikan suku bunga ECB lebih lanjut.
Greenback makin tertekan usai rilis data PMI Manufaktur AS bulan Februari ternyata melebihi ekspektasi. Laporan ISM menunjukkan bahwa skor PMI berada pada angka 47.7, di bawah ekspektasi yang mencapai 48.0. Namun, komponen harga pada laporan PMI Manufaktur AS justru naik dari 44.5 ke 51.3, melebihi ekspektasi yang hanya 45.1. Hal ini mendorong prospek Fed Rate Hike sehingga indeks dolar sempat pulih dari 104.09 ke 104.40-an.
Dolar Masih Unggul Terhadap Pound
Rilis data PMI sektor manufaktur Inggris sempat mendorong penguatan Sterling melawan dolar AS. Namun, komentar bernada dovish dari Gubernur BoE, Andrew Bailey mengatakan bahwa bank sentral Inggris mungkin sudah mencapai titik akhir dari siklus pengetatan moneter.
Pernyataan ttersebut menyebabkan Sterling kehilangan setengah reli pekan ini. Saat ini, Sterling menjadi satu-satunya mata uang mayor yang melemah terhadap dolar AS. Selanjutnya fokus pasar tertuju pada data Non-Farm Payroll AS yang akan dirilis pekan depan.