Sterling hanya menguat sesaat atas kemenangan Liz Truss sebagai PM Inggris baru. Ia mengusung reformasi ekonomi "Trussenomics" yang masih diragukan beberapa pihak.
Menyusul kemenangan Liz Truss yang menjadi PM Inggris baru mengantikan Boris Johnson, Sterling sempat menguat hingga lebih dari 0.70 persen di atas 1.1600. Akan tetapi, GBP/USD kemudian merosot dan ditutup tak jauh dari level pembukaan kemarin. Pada sesi perdagangan Rabu (07/September) pagi, pair tersebut melanjutkan pelemahan dan berada di kisaran 1.1478.
Terpilihnya Liz Truss sebagai PM Inggris baru membuka peluang reformasi kebijakan ekonomi yang dikenal dengan istilah "Trussenomics". Kebijakan ini digadang-gadang dapat mengatasi krisis energi dan lonjakan inflasi yang tengah dihadapi Inggris.
Beberapa pihak memperkirakan kebijakan ekonomi ala Truss ini akan mencakup pembatasan tagihan energi, peningkatan belanja fiskal, dan pemangkasan pajak. Di samping itu, Truss juga diyakini akan mengadopsi kebijakan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan sehingga dapat menekan risiko stagflasi sekaligus meringankan biaya hidup masyarakat.
Pasar merespon positif sentimen ini dan mengekspektasikan Trussenomics sebagai terobosan terbaru dalam menyelematkan perekonomian Inggris dari resesi parah.
"Terpilihnya Liz Truss sebagai PM Inggris baru mendorong munculnya 'dip buyers' karena pasar masih memperhitungkan janji-janji Truss yang sebenarnya sangat bagus untuk Poundsterling," kata Viraj Patel, analis strategi di Vanda Research.
Hanya saja, reli Sterling langsung terhenti dan berbalik turun di tengah penguatan Dolar AS. Pasalnya, antisipasi pelaku pasar terhadap The Fed rate hike pada pertemuan bulan ini masih sangat tinggi.
Selain efek dominasi Dolar AS, pelemahan Sterling juga didasari oleh fakta bahwa tidak semua pihak menyambut optimis program Trussenomics. Sejumlah analis justru khawatir kebijakan Truss gagal menjinakkan lonjakan inflasi yang akan memaksa BoE melakukan rate hike lanjutan. Salah satu pakar yang menyuarakan kekhawatiran ini adalah Susannah Streeter, analis senior pasar dan investasi dari Hargreaves Lansdown.
Ia menuturkan, "Obligasi Inggris menorehkan kenaikan bulanan terbesar sejak 1996 saat Liz Truss mulai berkantor di Downing Street sembari menebar janji pemangkasan tagihan energi dan pajak yang justru berpotensi menciptakan masalah baru bagi perekonomian Inggris."