Rencana pemerintah Inggris memotong pajak secara besar-besaran memicu sentimen risk-off dan aksi jual masif terhadap Sterling.
Pengumuman rencana pemotongan pajak oleh pemerintah Inggris telah memicu kepanikan pasar, sehingga Sterling tertekan ke level terendah sepanjang masa pada kisaran 1.03 per USD. Sementara itu, posisi dolar AS semakin diuntungkan mengingat posisinya sebagai safe haven.
Kejatuhan Sterling bermula dari pengumuman Menteri Keuangan Inggris, Kwasi Kwarteng, yang mengatakan akan melakukan pemotongan pajak terbesar dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Paket kebijakan ekonomi baru tersebut bertajuk "Rencana Pertumbuhan 2022", dan terdiri atas pembatasan tagihan energi serta pemangkasan pajak besar-besaran.
Pemerintah Inggris di bawah Perdana Menteri baru, Liz Truss, menyakini jika kebijakan tersebut akan mampu menggenjot sektor konsumsi sehingga perekonomian dapat terhindar dari risiko resesi. Namun, sebagian analis justru meragukan keputusan itu dan menyebut bahwa rencana pemotongan pajak akan memicu defisit tinggi serta melambungkan inflasi.
Baca juga: Inflasi Tinggi? Ini Cara Lindungi Dana Investasi dengan Kripto
Dalam sebuah wawancana bersama hari Minggu (25/September) kemarin, Kwarteng mengesampingkan kekhawatiran pelaku pasar akan kejatuhan Sterling. Kwarteng justru mengklaim bahwa strateginya akan berjalan dengan baik karena fokus pada pertumbuhan jangka panjang daripada reaksi jangka pendek. Ucapan Kwarteng ini sontak semakin menekan pergerakan Sterling dan memicu terjadinya aksi jual yang lebih besar di sesi pembukaan awal pekan.
Kit Juckes dari Societe Generale mengakui bahwa pasar cenderung bereaksi secara berlebihan atas pengumuman pemotongan pajak pemerintah Inggris. Namun, ia juga menekankan jika kepercayaan pasar terhadap kebijakan fiskal Inggris akan semakin merosot karena hal ini tidak baik secara fundamental bagi Sterling. Selain itu, pengumuman pemotongan pajak dalam skala besar justru akan menjadikan Sterling sebagai target aksi jual untuk mendapatkan dolar AS.
Sejumlah analis menyampaikan pandangan serupa. "Kekuatan dolar AS yang terjadi pada hari ini sebagian besar berasal dari aksi jual Sterling… Kondisi ini lebih seperti aksi risk-off di tengah meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap risiko resesi global," kata Saktiandi Supaat, kepala strategi dan riset FX di Maybank.