Harga minyak tertekan oleh laporan produksi AS yang mengalami kenaikan tajam dan mencapai rekor tertinggi sejak awal pandemi.
Harga minyak dunia melemah hingga lebih dari 1 persen pada perdagangan awal pekan. Saat berita ini diturunkan di hari Selasa (1/November), minyak Brent bergerak pada kisaran $95.66 per barel, sementara minyak WTI berada di $88.32 per barel.
Pelemahan harga minyak tidak terlepas dari laporan yang menyebutkan bahwa produksi minyak mentah AS melonjak hingga 12 juta barel pada bulan Agustus. Angka ini merupakan level tertinggi sejak awal pandemi COVID. Kenaikan output AS diduga dapat meredam kebijakan OPEC+ yang melakukan pemangkasan produksi hingga 2 juta barel per hari (bph).
"Biden akan meminta kongres mempertimbangkan kewajiban perusahaan minyak AS membayarkan denda pajak dan biaya lainnya, yang bertujuan untuk meredam kemerosotan daya beli konsumen. Presiden sebelumnya juga mendesak perusahaan energi untuk meningkatkan produksi daripada menggunakan keuntungan untuk melakukan pembelian saham dan dividen," ungkap seorang pejabat Gedung Putih yang menjadi narasumber Reuters.
Data Ekonomi China Turut Membebani, Pasar Fokus Kebijakan Bank Sentral
Kemerosotan aktivitas ekonomi China yang dipicu oleh pembatasan COVID juga membebani pergerakan harga minyak. Hal itu ditandai dengan data PMI Manufaktur dan Jasa China yang berkontraksi pada bulan Oktober. Sebagai informasi, China merupakan salah satu negara konsumen minyak terbesar di dunia, sehingga sentimen negatif dari perekonomian negara tersebut sangat berpengaruh pada harga minyak.
Perhatian investor minyak selanjutnya akan tertuju pada pengumuman kenaikan suku bunga The Fed dan Bank of England pada hari Kamis mendatang. Selain itu, laporan data Non Farm Payroll di akhir pekan juga akan menjadi sorotan pelaku pasar.