Harga minyak mentah ditopang oleh pasokan yang semakin ketat, tetapi juga ditekan oleh risiko penurunan permintaan akibat inflasi tinggi dan resesi.
China melaporkan kemunculan sub-varian terbaru dari COVID Omicron di Shanghai. Hal ini berdampak pada harga minyak dunia yang mengalami penurunan sejak awal pekan. Harga minyak Brent hari ini (12/Juli) mundur dari $109 ke $106.98, sementara minyak mentah AS (WTI) melemah dari $105 ke area $102.
"Pergerakan harga minyak ditarik dari dua arah, secara fundamental pasokan minyak cukup ketat, namun di sisi lain muncul tanda-tanda kehancuran permintaan yang disebabkan oleh harga minyak yang begitu tinggi," ujar analis komoditas di EBW Analytics dalam sebuah catatan.
Sementara menurut JP Morgan, pasar minyak saat ini terjebak di antara dua faktor: kekhawatiran atas potensi penghentian total pasokan migas dari Rusia dan kemungkinan resesi global yang akan menekan permintaan minyak.
"Kami melihat ada beberapa risiko makro yang punya dampak masing-masing. Pengurangan minyak Rusia sebesar 3 juta barel per hari (bph) diperkirakan akan membawa minyak Brent naik hingga $190 jika skenario in benar-benar direalisasikan. Di sisi lain, dampak dari pertumbuhan permintaan minyak yang semakin merosot di bawah skenario resesi akan menekan minyak Brent hingga menyentuh $90 per barel dan di bawah $78 per barel pada skenario resesi yang lebih parah," ungkap analis JP Morgan.
Pasokan minyak di pasaran sejatinya cukup ketat karena imbas dari blokade minyak Rusia oleh negara Barat. Namun, kekhawatiran terhadap inflasi tinggi dan resesi global berpotensi besar melemahkan permintaan minyak ke depan.
Pekan lalu saja, harga minyak merosot hingga di bawah level psikologis $100 karena outlook suram perekonomian global. Prospek ini telah memantik sentimen risk-off pelaku pasar, terlihat dari aksi para spekulan minyak yang telah melepas posisi net Long Futures di NYMEX dan Intercontinental Exchanges hingga mendorong levelnya ke titik terendah sejak April 2020.
Selain itu, kenaikan suku bunga The Fed ikut berkontribusi menekan harga minyak mentah dunia. Pengetatan moneter agresif yang dilakukan bank sentral AS telah melambungkan nilai tukar USD terhadap mata uang lain. Tak ayal, harga minyak menjadi semakin mahal bagi pemegang mata uang selain Dolar AS sehingga mempengaruhi permintaan minyak.