Ketika Bitcoin masih bernilai US$4,000, seorang analis anonim secara tepat telah memprediksi harga Bitcoin akan naik hingga US$55,000. Bagaimana caranya? Simak ulasan lengkapnya di bawah ini.
Meskipun pilihan mata uang kripto saat ini sudah ada banyak, namun popularitas Bitcoin sebagai instrumen investasi crypto terpopuler seakan tak pernah sirna. Hal ini turut didukung dengan data kenaikan Bitcoin dalam 5 tahun terakhir yang mencapai lebih dari 3,000%.
Namun, sampai kapankah Bitcoin masih menjadi salah satu instrumen investasi favorit bagi para trader? Apa yang akan terjadi pada harga Bitcoin bila aset tersebut telah habis ditambang? Adakah cara memprediksi harga Bitcoin yang akurat?
(Baca Juga: Bitcoin Naik atau Turun? Ketahui Faktor Pendorong Harganya)
Awal tahun 2021 lalu, dunia kripto sempat dihebohkan dengan dua hal, yaitu meroketnya harga Bitcoin yang telah diprediksi oleh seseorang di internet dengan menggunakan model Stock to Flow. Setelah itu, terjadilah gembar-gembor bahwa bahwa model ini adalah cara memprediksi harga Bitcoin terbaik.
Bagaimana model tersebut bisa memprediksi harga Bitcoin beberapa bulan sebelumnya? Artikel ini akan mengulas secara lengkap model Stock to Flow, mulai dari konsep dasarnya hingga kritik metodologinya yang kurang tepat.
DI
|
Daftar Isi |
Apa Itu Model Stock to Flow?
Secara sederhana, model Stock to Flow adalah cara untuk mengukur jumlah ketersediaan sumber daya tertentu. Perhitungan sederhana rasio Stock to Flow diambil dari jumlah komoditas yang telah beredar dibandingkan dengan total produksi dalam satu jangka waktu tertentu.
Pada umumnya, model Stock to Flow diterapkan untuk menghitung sumber daya alam, seperti emas, perak, palladium, nikel, dan sebagainya. Hasil perhitungan rasio Stock to Flow ini nantinya dipergunakan untuk memprediksi harga komoditas tersebut.
Semakin tinggi rasio Stock to Flow, makin sedikit pasokan baru yang memasuki pasar. Dengan demikian, komoditas yang memiliki rasio Stock to Flow tinggi, maka harganya cenderung stabil atau akan mengalami kenaikkan.
Kini penggunaan model Stock to Flow tak hanya untuk pasar komoditas saja, namun telah merambah ke aset mata uang kripto. Analisis model ini akhirnya digunakan sebagai cara memprediksi harga Bitcoin di masa depan.
Tentu ada perbedaan dalam penggunaan Stock to Flow pada Bitcoin dan komoditas seperti emas. Pertambangan emas yang tanpa halving seperti pada saat mining Bitcoin, membuat model Stock to Flow ini tak sesimpel menghitung jumlah aset beredar dan nominal produksi saja.
Baca Juga: Apakah Mining Bitcoin Masih Menguntungkan Di 2021?
Halving merupakan sebuah kondisi di mana penambang Bitcoin akan menerima penyusutan imbal hasil (block reward) sebesar 50% setiap 4 tahun sekali. Kondisi seperti ini akan menurunkan pasokan Bitcoin dan membuat aset kripto tersebut semakin langka di pasaran.
Analis Anonim Kripto PlanB Dan Model Stock to Flow
Penggunaan model Stock to Flow mulai dipopulerkan oleh seorang analis anonim kripto bernama pena "PlanB" pada tahun 2019. Namun, para investor mulai tertarik mempelajari dan menggunakannya pada awal tahun 2021, setelah PlanB berhasil memakai model ini untuk memprediksi harga Bitcoin yang meroket tinggi.
Hasil analisis awal PlanB menyatakan bahwa pada tahun 2020 lalu, di antara semua koin terbaik, harga Bitcoin akan menyentuh kapitalisasi pasar sebesar US$1 triliun dengan harga US$55,000 per koin. Meski secara timeline tidak tepat, namun prediksi itu terbukti benar di tahun 2021 ketika akhirnya Bitcoin bisa menguat menyentuh angka tersebut.
Sebelumnya, PlanB juga sempat memprediksi bila nilai kapitalisasi pasar Bitcoin akan berasal dari negara-negara bersuku bunga rendah. Ia juga memperkirakan bahwa untuk melindungi nilai kekayaan dari penurunan nilai Dolar, para miliarder dan perusahaan investasi bakal berbondong-bondong membeli Bitcoin. Semua prediksinya telah terbukti di tahun 2021.
Selain itu, PlanB berasumsi bahwa harga Bitcoin di masa depan dipengaruhi oleh kelangkaan suplainya di jaringan blockchain. Jumlah total suplai Bitcoin sebanyak 21 juta koin diperkirakan akan selesai ditambang pada tahun 2140 mendatang. Perlu diingat kembali bahwa fenomena halving turut mempengaruhinya juga.
Berdasarkan kedua data di atas, PlanB menganalisis mundur data historis harga Bitcoin. Hasil dari analisanya, ditemukan korelasi yang positif antara harga Bitcoin dengan prediksi model Stock to Flow. Ia juga menyebutkan bahwa korelasi positif tersebut bisa dijelaskan secara statistik dan tidak bersifat kebetulan.
Demi memperkuat hasil tersebut, PlanB turut melakukan analisis serupa pada komoditas emas dan perak. Hasilnya sama dengan Bitcoin, di mana aset-aset tersebut memiliki pola pergerakan harga yang mirip, karena semua pasokan dari ketiganya sangat terbatas di dunia ini.
Baca Juga: Korelasi Harga Bitcoin Dengan Emas Dan Saham
Seberapa Akurat Stock to Flow Untuk Memprediksi Harga Bitcoin?
Apabila Anda sudah memahami bagaimana cara Bitcoin bekerja, sebenarnya tak sulit untuk mengerti penerapan model Stock to Flow. Untuk menggunakan analisis ini pada Bitcoin, maka mata uang kripto harus diperlakukan sama seperti emas dan perak, yaitu sebagai aset safe haven.
Menurut analis Stock to Flow, karakteristik Bitcoin yang unik cocok menggunakan metode ini untuk memprediksi harganya. Bitcoin termasuk barang langka karena hanya tersedia 21 juta koin, biaya mining-nya pun amat mahal.
Selain itu, alur skema halving untuk reward mining sendiri juga ditentukan 4 tahun sekali. Faktor-faktor yang disebutkan barusan diklaim sebagai penguat akurasi perhitungan Stock to Flow, karena telah terprediksi aliran stoknya.
Dari hasil proyeksi model ini, harga Bitcoin akan meningkat secara signifikan karena rasio Stock to Flow yang terus berkurang. Bila menghitung menggunakan formula model Stock to Flow dari PlanB, harga Bitcoin bisa menyentuh hingga kisaran US$200,000 pada tahun 2024 mendatang.
Sayangnya, belum ada yang bisa memastikan seberapa akurat metode ini bila dibandingkan metode lain. Belum lagi,prediksi Stock to Flow sudah beberapa kali meleset.
Perhitungan analisis PlanB memiliki chart seperti contoh di bawah ini.
Pada chart di atas, penggunaan rentang waktu 463 hari terjadi lantarna Bitcoin memiliki siklus yang terjadi dalam 3 fase, yaitu The Bull Run, The Correction, dan The Reversion To The Mean.
Seorang peneliti finansial, Preston Pysh memperkirakan ada 200,000 blok per siklus dan 144 blok per hari. Dengan data tersebut, ia menemukan formula hitungan untuk alasan penggunaan chart rentang waktu 463 hari. Di bawah ini adalah formulanya.
200,000 blok per siklus dibagi 3 fase dibagi 144 blok per hari, maka rentang waktu yang digunakan adalah 463 hari (200,000 : 3 : 144 = 462.96 dibulatkan menjadi 463 hari).
Kekurangan Stock to Flow Sebagai Cara Memprediksi Harga Bitcoin
Meski secara teoritis model ini masuk akal, namun penggunaannya sebagai cara memprediksi harga Bitcoin tetap mendapatkan kritikan. Beberapa kritikus sempat mengatakan jika Bitcoin tidak memiliki faktor berkualitas selain kelangkaan pasokan, maka model Stock to Flow telah gagal menjadi cara memprediksi harga Bitcoin di masa depan.
Selain itu, seorang Chief Investment Officer dari Strix Leviathan, Nico Cordeiro, sempat mengkritik keras melalui tulisan opininya di Coindesk. Ia menilai bahwa metode perhitungan kapitalisasi pasar menggunakan Stock to Flow pada sebuah komoditas atau aset, tidak pernah dibuktikan di dalam riset-riset sebelumnya. Bahkan, menurutnya sudah tak ada satu pun korelasi positif antara harga emas dengan model Stock to Flow sejak 115 tahun lalu.
Menurut Nico, penggunaan model Stock to Flow akan menciptakan prediksi yang mencurigakan, seperti memprediksi harga Bitcoin pada tahun 2045 sebesar US$45 juta per koin. Nico juga menambahkan jika analisis model Stock to Flow adalah alat propaganda untuk membohongi masyarakat, dengan mengatakan bahwa Bitcoin akan bernilai tinggi di masa depan. Bagi dia, Stock to Flow tidak didasarkan pada analisis empiris yang tepat.
Ada faktor lain yang membatasi kegunaan model Stock to Flow sebagai cara memprediksi harga Bitcoin, yaitu volatilitas dan tingkat likuiditas Bitcoin belum setinggi emas. Memang, faktor tersebut telah mengalami perubahan, karena sekarang volatilitas Bitcoin cukup berkurang karena semakin banyaknya orang yang menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran.
Baca Juga: Tempat Belanja Dengan Bitcoin Di Indonesia
Namun pergerakan besar dan naik-turunnya harga Bitcoin membuat faktor di atas jadi kurang signifikan. Sehingga, ketika terjadi lonjakan volatilitas yang tiba-tiba, model Stock to Flow tidak akan bisa memprediksinya.
Perlu diingat kembali bahwa apapun analisanya, tetap saja susah untuk memprediksi harga kripto ketika terjadi event di luar ekspektasi, seperti pandemi COVID-19, pelarangan mining Bitcoin oleh pemerintah Cina, Perang Rusia-Ukraina, dan lain-lainnya. Belum lagi kalau nanti Bitcoin sudah habis ditambang, tentu pengaruh eksternal yang tak dapat diprediksi model ini semakin banyak.
Semisal tidak ada lagi Bitcoin yang bisa ditambang, miner Bitcoin-lah yang menjadi korbannya. Situasi seperti itu nantinya membuat miner hanya akan mendapatkan BTC dari biaya transaksi saja. Bisa jadi ketika tak ada mining Bitcoin lagi, transaction fee untuk pengguna akan meningkat drastis, sehingga membuat orang enggan menggunakannya lagi.
Kesimpulan
Sebagian investor kripto masih ada yang bersikukuh bahwa model Stock to Flow ini tetap valid meskipun telah banyak kritikan dan ketidakakuratan prediksi. Bagi mereka, cara memprediksi harga Bitcoin bisa disamakan dengan metode memperkirakan nilai perak, emas, berlian, dan lain-lainnya.
Memang, dari segi keterbatasan jumlah total suplai, Bitcoin merupakan sumber daya digital yang langka dan terbatas. Sehingga, bila menggunakan model Stock to Flow ini, Bitcoin diestimasi bisa mempertahankan tinggi nilainya dalam jangka waktu panjang.
Namun, perlu diingat bahwa tak ada cara atau metode analisa teknikal yang sempurna untuk memprediksi harga Bitcoin , termasuk model Stock to Flow. Terlebih lagi, usia investasi Bitcoin masih tergolong muda, sehingga bila hendak melakukan analisa historis semacam Stock to Flow, maka data yang dibutuhkan masih terlalu sedikit dan tak bisa dibandingkan dengan emas atau logam mulia lainnya.
Bila masih kebingungan menganalisa pergerakan harga kripto menggunakan model Stock to Flow ini, Anda bisa mempelajari cara analisa teknikal menggunakan indikator-indikator yang lebih umum digunakan. Apa saja indikator tersebut dan bagaimana cara penggunaanya? Silahkan baca artikel "5 Indikator Pilihan untuk Analisa Cryptocurrency", agar Anda bisa cuan dari kripto.