Tersendatnya recovery ekonomi kawasan Euro disebabkan terutama oleh faktor-faktor eksternal yaitu: 1. Turunnya pertumbuhan ekonomi China dan AS. 2. Menguatnya nilai tukar mata uang Euro yang signifikan. 3. Ketidak-pastian krisis Ukraina.
Perekonomian kawasan Euro yang tidak kunjung membaik membuat pasar pesimis terhadap prospek recovery yang sedang dijalankan terutama oleh bank sentral. Minggu lalu kita lihat jebloknya data fundamental penting kawasan yang menunjukkan lambatnya recovery ekonomi. Yang menjadi pertanyaan pelaku pasar adalah apakah jebloknya data minggu lalu itu menunjukkan ekonomi kawasan yang akan terus tersendat-sendat dalam waktu yang lama, ataukah hanya sementara saja karena adanya faktor-fakror tertentu, untuk kemudian recover dengan cepat. Jika memang hanya sementara, apa saja faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya proses recovery?
Kita lihat GDP kawasan Euro kwartal kedua yang nol persen, Perancis juga nol dan Jerman sebagai lokomotif kawasan mengalami kontraksi atau minus 0.2%. Tingkat inflasi semakin merosot hingga 0.4%. Indeks ZEW Jerman yang turun 7 bulan berturut-turut dan juga indeks IFO yang cenderung turun sejak awal tahun ini. Namun demikian ada 2 hal yang perlu digaris-bawahi :
1. Hanya indikator sektor manufaktur saja yang turun, permintaan konsumen atau tingkat konsumsi terus meningkat seperti tampak pada data penjualan retail yang naik hingga ke level tertingginya dalam 7 tahun terakhir, serta kepercayaan konsumen yang relatif tetap.
2. Hanya Jerman yang tampak menurun sementara negara-negara lain dalam kawasan (kecuali Italia) tidak begitu terpengaruh. Ekonomi Spanyol dan Portugal tumbuh 0.6% sementara Jerman minus 0.2%.
Karena Jerman adalah lokomotif kawasan Euro yang ekonominya berorientasi ekspor, sementara tingkat konsumsi domestik terus meningkat, tentunya pelemahan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perlambatan recovery ekonomi kawasan. Ada 3 faktor penyebab, yaitu:
1. Turunnya pertumbuhan ekonomi China dan Amerika Serikat
Ekonomi China kwartal pertama tahun ini hanya tumbuh 6%, terendah dalam 2 tahun terakhir, sementara pertumbuhan AS minus 2.9% dibandingkan kwartal sebelumnya yang +2.6%. Perlambatan kedua negara raksasa ekonomi dunia itu pada akhirnya memukul kawasan Euro. Permintaan turun tajam yang mengakibatkan merosotnya produksi sektor industri dan manufaktur.
2. Menguatnya nilai tukar mata uang Euro yang signifikan
Terus menguatnya nilai tukar mata uang Euro sejak pertengahan tahun 2012 menyebabkan produk-produk kawasan Euro menjadi kurang kompetitif. Pada saat yang sama mata uang US Dollar dan Yen Jepang cenderung melemah (terutama Yen, dari USD/JPY = 77 hingga 105 per Desember 2013).
3. Ketidak-pastian krisis Ukraina
Konflik antara Ukraina dan Russia akan berdampak terhadap ekonomi kawasan Euro. Belum lama berselang Russia telah melarang impor bahan makanan dari kawasan Euro akibat Uni Eropa yang ikut memberikan sanksi pada Russia. Belum lagi banyak perusahaan negara-negara kawasan Euro yang beroperasi di Russia, serta pasokan bahan bakar gas kawasan yang sebagian besar dari Russia.
Sementara pertumbuhan ekonomi China dan AS kembali naik, dan presiden ECB Mario Draghi berusaha memperlemah mata uang Euro, analis yakin faktor-faktor eksternal tersebut akan bisa diatasi sehingga recovery ekonomi kawasan Euro bisa berjalan sebagai mana mestinya. Tentu saja krisis Ukraina diharapkan akan segera usai dan tidak berkepanjangan.
Sumber : Danske Bank : Is the euro recovery derailing?