Harga minyak melemah karena kenaikan inflasi di tengah macetnya pertumbuhan ekonomi global. Hal ini berpeluang memicu risiko stagflasi.
Harga minyak mentah dunia merosot cukup signifikan pada perdagangan awal pekan (13/Juni). Pelemahan harga sebagian besar dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap inflasi yang tidak terkendali di saat perekonomian global memburuk. Pada saat berita ini diturunkan, minyak Brent berada pada kisaran $119.62 per barel atau melemah 1.81 persen.
Pelemahan serupa juga terlihat pada minyak WTI (West Texas Intermediate) di $118.26 per barel. Benchmark minyak mentah AS ini menghadapi tekanan jual dalam beberapa sesi terakhir terutama setelah OPEC+ memutuskan untuk meningkatkan penambahan output harian pada awal Juli mendatang.
Akhir pekan lalu, rilis data inflasi AS bulan Mei dirilis meningkat dari 8.3 persen menjadi 8.6 persen dan melampaui ekspektasi pasar. Kondisi ini menghidupakan ekspektasi bahwa The Fed akan mengambil kebijakan moneter lebih agresif setelah dua kali rate hike sebelumnya gagal menjinakkan inflasi. Hal ini yang mendorong penguatan tajam Dolar AS terhadap mata uang mayor lain dan membuat harga minyak menjadi semakin mahal bagi pemegang mata uang non-Dolar.
Harga minyak semakin tidak bedaya menyusul kabar kemunculan kasus COVID baru yang berpotensi akan menyebar secara luas. Pasalnya, otoritas resmi China melaporkan adanya penyebaran COVID ganas di Beijing dan mengumumkan akan segera melakukan tes massal selama beberapa hari ke depan. Akan tetapi, analis optimis jika isu ini tidak akan terlalu berpengaruh pada pergerakan harga minyak.
"Kekhawatiran pasar terhadap bahaya stagflasi dan penguatan tajam dolar AS membuat harga minyak semakin tertekan… Kami memperkirakan kasus COVID di China hanya akan membebani harga minyak dalam jangka pendek. Pasalnya, mayoritas analis berpendapat normalisasi permintaan minyak China akan terus berjalan dalam beberapa minggu mendatang," ungkap analis komoditas Asset Management, Stephen Innes.