Mata uang Euro dan Sterling merosot akibat krisis energi yang semakin mengkhawatirkan di Eropa. Hal ini diperkirakan dapat mengancam perekonomian kawasan.
Euro merosot tajam ke level terendah 1.0160 pada perdagangan Rabu (06/Juli) kemarin. Krisis energi yang semakin mengkhawatirkan telah membebani kinerja Euro hingga medekati paritas terhadap dolar AS. Kondisi serupa juga dialami oleh Sterling yang merosot hingga kisaran 1.1918 terhadap Dolar AS.
Pasokan Gas Menuju Eropa Kian Menurun
Ambruknya mata uang Euro dan Sterling terjadi setelah pasokan gas melalui jaringan pipa Nordstream 1 dikabarkan merosot hingga 60 persen dan berpotensi dihentikan total dalam beberapa hari ke depan. Perlu diketahui, pasokan gas Eropa sebelumnya sudah kritis akibat penurunan output Norwegia dan penutupan pasokan gas alam di Yamal. Apabila jalur pipa Nordstream benar-benar ditutup, ekonomi Eropa akan semakin terpukul.
Mengenai isu pasokan minyak di Norwegia, perusahaan minyak nasional Equinor dilaporkan telah menutup tiga ladang migas sejak awal pekan akibat aksi mogok kerja massal. Apabila permasalahan ini tak kunjung usa, akan ada penutupan kilang minyak lepas pantai lainnya. Gejolak yang terjadi di Norwegia ikut mengancam ketahanan energi Inggris, mengingat sebagian besar migas negara tersebut dipasok dari Norwegia.
Inggris dan Uni Eropa Hadapi Risiko Penjatahan Gas
Analis memperkirakan Inggris akan mejadi negara paling terdampak atas penurunan pengiriman gas dari Norwegia; berbeda dengan Uni Eropa yang sudah menimbun minyak dan gas dalam beberapa bulan terakhir. Hingga sekarang, belum diketahui seperti apa langkah yang akan diambil oleh Inggris untuk menghadapi situasi krisis seperti ini.
Di tempat terpisah, Jerman telah mengumumkan rencana penjatahan gas apabila krisis energi semakin memburuk. Padahal menurut ekonom, penjatahan gas akan berdampak lebih buruk terhadap ekonomi kawasan dibandingkan pandemi COVID-19.
"Rencana Jerman akan beralih dari fase 2 menuju fase 3 apabila krisis gas memburuk yaitu dengan menerapkan penjatahan. Industri akan terpukul dan (ini) akan berdampak serius terhadap sektor manufaktur dan ekspor yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Jerman. Ini akan lebih buruk dari dampak pandemi," ungkap Jordan Rochester, analis mata uang di Nomura.
