Pajak P2P merupakan topik baru yang masih belum banyak diketahui para pelaku bisnis. Apa saja yang perlu diperhatikan dari pengenaan pajak P2P?
Salah satu cara untuk menggerakkan perekonomian adalah dengan meminjamkan modal kepada pelaku usaha yang membutuhkan. Hal inilah yang mendasari munculnya bisnis P2P (Peer-to Peer), di mana masyarakat bisa menjadi pemberi pinjaman maupun peminjam secara langsung tanpa proses yang berbelit-belit.
Saat ini, bisnis P2P =semakin banyak menarik minat masyarakat karena skema Peer-to Peer Lending memungkinkan para pelaku usaha untuk mendapatkan modal usaha dengan syarat cukup fleksibel.
Baca Juga: Bisnis Peer To Peer Vs Crowdfunding, Mana Yang Menguntungkan?
Di sisi lain, pemerintah Indonesia tengah menggencarkan penarikan pajak untuk menambah pemasukan kas negara. Setiap aktivitas perekonomian diawasi dan beragam istilah pajak yang rumit untuk masyarakat awam pun semakin bermunculan.
Pertanyaannya, apakah P2P juga kena pajak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita ulas terlebih dahulu perkembangan P2P di Indonesia, dasar pengenaan pajak, serta dampak pajak P2P terhadap para penggunanya.
Perkembangan P2P Lending di Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 PMK 69/2022, definisi P2P lending adalah: penyelenggara layanan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam langsung, menggunakan sistem elektronik dengan jaringan internet.
Beberapa nama P2P Lending yang cukup terkenal di Indonesia antara lain: Amartha, KoinWorks, Uangteman, Modalku, Danamas, Kredit Pintar, Dompet Kilat dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan penyedia P2P ini memiliki skema perhitungan serta fitur yang unik satu sama lain.
Selain bisnis P2P dengan skema perhitungan konvensional, ada juga P2P Lending syariah yang skema pinjamannya bebas riba seperti Investree, Alami Sharia, Duha Syariah, Amartha, Syariah, Ammana.id, Dana Syariah, dan Ethis. Baik konvensional maupun syariah, perusahaan-perusahaan penyedia P2P di Indonesia ini wajib mengantongi izin dari OJK agar dapat menawarkan produknya secara resmi dan aman ke masyarakat.
Baca Juga: 7 P2P Lending Syariah Terbaik di Indonesia
Dasar Pengenaan Pajak P2P di Indonesia Secara Hukum
Per tanggal 30 Maret 2022, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 mengenai pengenaan pajak P2P lending. Aturan ini berlaku sejak tanggal 1 Mei 2022.
Salah satu syarat untuk mendapatkan legalitas dari OJK tentu saja mematuhi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk juga mengenai pembayaran pajak. Karena itu, P2P Lending juga dikenakan pajak dengan melibatkan penyelenggara (perusahaan) maupun pemberi pinjaman.
Baca juga: Aplikasi P2P Lending Terbaik dan Terpercaya di Indonesia
Jika kalian adalah pemberi pinjaman, maka penghasilan bunga akan dikenakan pajak PPh pasal 23 atau 26 dengan detail sebagai berikut:
- Penghasilan bunga (imbal hasil, return, atau apapun penyebutannya) wajib dilaporkan dalam SPT tahunan pemberi pinjaman.
- PPh Pasal 23 diperuntukkan bagi wajib pajak dalam negeri dan Badan Usaha Tetap (BUT): Berlaku tarif pemotongan 15% untuk yang punya NPWP. Pajak yang dikenakan mencapai 30% untuk yang tidak mengantongi NPWP.
- PPh Pasal 26 bagi wajib pajak luar negeri selain BUT: Tarif pemotongan yang dikenakan sebesar 20% atau sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty) antara Indonesia dengan negara lain (jika ada).
Pengaruh Pajak P2P di Indonesia
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki efek tersendiri bagi pihak-pihak tertentu. Apalagi jika hal itu berhubungan dengan nominal uang yang tidak sedikit, tentu kita harus berhati-hati agar tidak terkena masalah hukum.
Baca Juga: Jenis Akad Dalam P2P Lending
Dampak Pajak P2P Pada Penyelenggara
Selama ini, objek pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada P2P lending meliputi jasa, waktu, dan tempat. Pada laporan rekening koran, istilah yang dipakai antara lain: Subscription Fee, Rent Fee, Monthly Fixed Fee, Registration Fee, dan Fixed Fee.
Setelah munculnya kebijakan baru per Mei 2022, maka penyelenggara P2P Lending punya "Pekerjaan Rumah" tambahan yang harus dilakukan saat momen-momen lapor pajak. Antara lain:
- Memiliki kewenangan untuk menjadi pemotong PPh atas penghasilan bunga.
- Menyetorkan PPh pasal 23 dan PPh pasal 26 ke kas negara.
- Mencantumkan pemotongan PPh 23 dan 26 di SPT.
Dampak Pajak P2P Pada Pemberi Pinjaman
Lalu, bagaimana nasib para pemberi pinjaman kalau P2P kena pajak?
Tenang, kalian tidak perlu berpusing-pusing menghitung pajak dan fee yang dikenakan. Karena pemotongan PPh atas penghasilan bunga dilakukan oleh penyelenggara P2P, maka imbal hasil atau revenue yang tercatat di portofolio kalian pada umumnya sudah merupakan angka perhitungan akhir.
Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri jika penarikan pajak ini harus menjadi pertimbangan kalian saat akan menjadi pemberi pinjaman. Jika kalian ingin jadi penduduk yang taat pajak, hal ini bisa diantisipasi dengan cara mengurus NPWP terlebih dahulu agar aktivitas investasi di P2P Lending jadi makin lancar ke depannya.
Baca Juga: Alasan Milenial Investasi di P2P Lending
Kesimpulan
Kebijakan pajak P2P di Indonesia memang perlu diawasi dan dipelajari bersama. Diperlukan banyak sosialisasi agar masyarakat bisa menerima peraturan baru soal pajak P2P dan perhitungannya. Jika ingin menyusul negara-negara maju yang "apa-apa dikenai pajak", tentu harus diimbangi dengan transparansi penggunaan pajaknya.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk penyelenggara layanan P2P Lending agar tetap bisa menarik minat pemberi pinjaman dan menawarkan skema imbal hasil yang menarik. Bagi para pemberi pinjaman, sudah sepatutnya memperhitungkan juga keuntungan serta kerugian investasi di P2P.