Harga minyak menguat lebih dari 1 persen karena diuntungkan atas pelemahan Dolar AS. Harga minyak yang semakin mahal menjadi perhatian Presiden AS.
Harga minyak menguat lebih dari satu persen pada perdagangan awal pekan (19/Juli) setelah Dolar AS melemah ke level terendah dua pekan. Minyak Brent saat ini bertengger pada kisaran $106.87 per barel, sedangkan minyak WTI bergerak pada kisaran $102.15 per barel.
Pelemahan Dolar AS terhadap mata uang mayor menjadi keuntungan bagi minyak. Pasalnya, harga minyak yang selama ini dipatok dengan Dolar AS menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Hal ini secara langsung meningkatkan permintaan sehingga mendongkrak harga minyak.
"Harga minyak mentah mengalami pergerakan yang lumayan ekstrem pada hari Senin kemarin. Kami melihat tidak ada berita berdampak tinggi, namun kombinasi antara open interest yang tertekan dan volume perdagangan yang relatif sepi memicu terjadinya fluktuasi harga," kata Robert Yawger, direktur energi berjangka Mizuho dalam sebuah catatan.
Laporan terbaru dari bursa berjangka New Yok Mercantile Exchange mengungkapkan bahwa open interest AS merosot ke level terendah sejak September 2015. Penurunan itu terjadi karena investor beramai-ramai melepas kepemilikan kontrak komoditas sehubungan dengan ekspektasi The Fed yang lebih agresif. Terkait hal ini, sejumlah analis memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga antara 75 basis poin hingga 100 basis poin pada pertemuan mendatang.
Baca juga: The Fed Bikin Kejutan Rate Hike, Dolar AS Merosot
Meski sudah menurun selama beberapa pekan terakhir, harga minyak sejatinya masih terbilang mahal. Untuk mengatasi lonjakan inflasi yang dipicu oleh harga minyak mahal, Presiden Joe Biden bertemu dengan putra mahkota Arab Saudi, Muhammad Bin Salman, guna membahas rencana peningkatan produksi. Namun, permintaan itu langsung ditolak Saudi. Melalui Menteri Luar Negeri kerajaannya, Saudi menyatakan bahwa masalah pasar saat ini bukanlah karena kurangnya pasokan, melainkan akibat kekurangan fasilitas penyulingan.