Jejak karbon, alat untuk spekulan, tidak ramah lingkungan, hingga perbandingan yang tidak fair, inilah 7 mitos mining Bitcoin yang perlu Anda ketahui.
Aktivitas mining Bitcoin memang tak bisa dianggap remeh. Dengan mining, Anda bisa mendapatkan Bitcoin tanpa harus membelinya di bursa. Ya, mining bisa menjadi salah satu cara alternatif bagi siapapun yang ingin untuk memiliki koin kripto tertua ini.
Meskipun saat ini Bitcoin sedang memasuki bear market, namun bukan berarti aset digital ini tak diminati lagi. Harga Bitcoin masih bertengger di level $19500 atau setara dengan Rp298 juta per kepingnya, cukup tinggi untuk mendapatkan keuntungan melalui mining.
Sayang, beberapa pihak mengklaim bahwa aktivitas mining Bitcoin tidak ramah lingkungan. Di tengah isu pemanasan global dan perubahan iklim, sudah pasti jika klaim tersebut menjadi perhatian banyak pihak. Namun, benarkah demikian? Artikel ini akan memaparkan beberapa sumber data menyatakan beberapa mitos mining Bitcoin.
DI
|
Daftar Isi |
1. Mitos Mining Bitcoin Memiliki Jejak Karbon yang Besar
Menurut Digicoinomist, saat ini penambangan BTC memiliki jejak karbon sebesar 70.89 Mt CO2, disetarakan dengan jejak karbon Yunani. Kedengarannya memang buruk, namun hal tersebut tidak sesuai dengan konteks. Pertama, jejak karbon Yunani pada tahun 2019 berada di peringkat ke-54 sedunia.
Sebagai perbandingan lainnya, jejak karbon mining Bitcoin 149 kali lebih kecil dari China, 50 kali lebih kecil dari AS, bahkan jejak karbon Polandia 4 kali lebih besar. Pembakaran gas alam sendiri juga memiliki jejak karbon 10 kali lebih besar daripada penambangan BTC, dan bisa menjadi sia-sia apabila menghasilkan energi yang berlebihan atau lebih besar daripada kebutuhan sekitar pembangkit listrik.
Kedua, ada orang yang juga berargumen bahwa penambangan BTC dinilai berdasarkan moralistik tanpa alasan. Argumen tersebut biasanya mengatakan bahwa BTC hanya bagus untuk spekulasi, atau Bitcoin memiliki lebih banyak spekulan buruk.
Asumsikan saja bahwa seluruh Bitcoin digunakan untuk tujuan spekulatif sepanjang waktu, maka ada dua hal yang patut dikritisi. Pertama, apa yang akan menjadi jejak karbon jika spekulan menggunakan sesuatu selain BTC? Bagaimana jika semua uang itu pergi ke kasino atau tempat perjudian lainnya? Bukankah semua sektor lain yang didorong oleh spekulasi sejenis, juga memiliki jejak karbon? Adakah yang sudah pernah meneliti jejak karbon tempat perjudian seperti penelitian terhadap Bitcoin?
Kedua, bagaimana cara mengukur nilai sesuatu tak berwujud yang diciptakan oleh BTC? Dan bagaimana cara membandingkan eksternalitas positif dengan eksternalitas negatif Bitcoin? Eksternalitas adalah biaya yang harus ditanggung atau manfaat tidak langsung yang diberikan dari suatu pihak akibat aktivitas ekonomi.
Baca Juga: 5 Negara Penambang Kripto Terbesar di Dunia
2. Mitos Mining Bitcoin dapat Meningkatkan Biaya Listrik
Tak hanya soal jejak karbon, mining Bitcoin juga dituduh meningkatkan biaya listrik dan membuat sektor lainnya lebih tertekan dengan biaya tersebut. Namun, tuduhan tersebut terlihat kurang data yang valid. Setidaknya ada dua hal yang bisa mematahkan tuduhan tersebut.
Pertama, secara logika para penambang akan selalu mencari dan menggunakan sumber energi termurah. Tidak ada penambang Bitcoin yang ingin menggunakan sumber energi yang mahal, karena akan mengurangi keuntungannya. Itulah kenapa penambangan Bitcoin kerap di negara-negara seperti Kazakhstan dengan biaya listrik yang rendah ataupun menggunakan sumber daya energi yang terbarukan.
Kedua, masih ada terjadi inefisiensi pemanfaatan energi. Miner BTC di Indonesia pernah mendapati bahwa ada satu PLTA di Sumatera Barat menghasilkan sumber daya listrik yang lebih besar daripada kebutuhan harian masyarakat sekitar. Jadi, mau access power itu habis atau tidak habis, PLTA akan tetap menghasilkan listrik sebesar 30 MW. Dan kalau sisa listrik tersebut digunakan untuk mining Bitcoin, maka tidak akan ada lagi listrik yang terbuang. Daripada terbuang sia-sia bukankah lebih baik dimanfaatkan?
3. Mitos Mining Bitcoin Buruk Bagi Jaringan Listrik
Apakah mining Bitcoin berkontribusi pada kelebihan beban jaringan listrik? Apakah penambang dapat disalahkan atas infrastruktur yang buruk? Masih berkaitan dengan poin ke-2, di mana ada penambangan Bitcoin, maka akan ada sumber energi yang bisa disimpan lalu disalurkan pada waktu dibutuhkan.
Contohnya, penambangan di Texas sempat mematikan rig mereka selama gelombang panas saat itu. Karena rig penambangan dapat dihentikan dalam waktu yang sangat singkat, permintaan listrik yang meningkat pada saat itu bisa terpenuhi secara tepat. Dari hal tersebut, ternyata penambangan Bitcoin bisa berdampak bagus untuk jaringan karena membantu memperlancar permintaan.
4. Mitos Mining Bitcoin Buruk Bagi Komunitas yang Rentan
Faktanya, mining Bitcoin memang mengambil keuntungan dari ketidakstabilan ekonomi, peraturan yang lemah, dan akses ke energi murah serta sumber daya lainnya. Tapi, bukankah solusinya adalah memperbaiki ketidakstabilan ekonomi dan regulasi yang lemah?
Perlu diingat kembali, penambang hanya memberikan umpan balik pasar. Jadi salah satu solusi untuk hal tersebut jelas bukan melarang pelaku pasar, namun memperbaiki regulasi pasar. Pelarangan mining di seluruh negara terhadap Bitcoin sangat tidak realistis, sebab banyak negara juga mendapatkan keuntungan ekonomi dari para penambang.
5. Mitos Mining Bitcoin Menjadi Kurang Ramah Lingkungan
Bitcoin Mining Council, sebuah forum dewan pengawas kegiatan Mining Bitcoin yang berisi oleh relawan dan didukung oleh CEO Tesla, Elon Musk dan CEO MicroStrategy, Michael Saylor, baru mempublikasi laporan terkait data Bitcoin Mining. Tercatat bahwa saat ini sekitar 60% energi yang digunakan untuk menambang Bitcoin adalah energi yang ramah lingkungan atau dapat diperbaharui.
Dari Januari 2022 hingga Maret 2022, Tercatat bahwa 58.4% penambang Bitcoin telah melakukan mining Bitcoin dengan energi yang dapat diperbaharui. Angka tersebut adalah peningkatan yang signifikan dari tahun 2021, menandakan bahwa sekarang lebih banyak penambang sadar akan dampak mining Bitcoin terhadap lingkungan.
Bila dibandingkan dengan tahun lalu di bulan April, tercatat bahwa kegunaan energi ramah lingkungan mengalami apresiasi sekitar 36.8% dan secara keseluruhan menggambarkan kenaikan 59% dari tahun 2021 ke tahun 2022.
6. Mitos Mining Bitcoin Menggunakan Banyak Energi Per Transaksi
Ini adalah argumen lain dari para kritikus. Lyn Alden menjelaskan ini dengan baik melalui analogi. Ketika Anda menggunakan mesin cuci, jumlah energi yang terpakai akan tetap sama, terlepas dari apakah penuh atau tidak. Dengan analogi yang sama, maka blok BTC yang ditambang menggunakan jumlah energi yang sama, terlepas dari apakah blockspace digunakan atau tidak.
Baca Juga: Apa Itu Nonce dan Mining Difficulty dalam Jaringan Bitcoin?
Jadi, Anda bisa saja marah pada mesin cuci karena menjadi pencemar lingkungan. Namun, sebenarnya Anda bisa memilih untuk mencuci dengan tangan, atau Anda dapat berpikir bahwa secara moral, mencuci pakaian menggunakan mesin cuci ternyata juga sudah salah sejak awal.
7. Mitos Mining Bitcoin Boros Energi
Argumen terakhir adalah penambangan hanya akan terjadi pemborosan energi dan kita harus menggunakan sumber alternatif lain yang sudah ada untuk menyimpan nilai dan transaksi. Benarkah itu?
Pertama, energi tidak sama dengan listrik. Penambangan Bitcoin memang menggunakan banyak listrik, namun hal ini tidak akan menjadi masalah jika sumber listrik tersebut melimpah dan bersih. Hal ini hanya bisa diselesaikan dengan regulasi yang baik.
Kedua, pesaing pasar Bitcoin juga tidak jauh lebih baik dalam menangani dampak lingkungan yang mereka ciptakan. Faktanya, industri tambang emas dan operasional bank seluruh dunia justru meninggalkan jejak karbon yang lebih besar daripada mining Bitcoin secara keseluruhan. Hass McCook sempat membahas komparasi tersebut dan membuatnya dalam tabel seperti di bawah ini.
Baca Juga: Apakah Mining Bitcoin Masih Menguntungkan Di 2021?
Kesimpulan
Mining Bitcoin memang tidak bersih, penambangannya memang akan selalu menghasilkan jejak karbon. Namun, kita harus bisa melihat dan menilainya secara adil serta jujur, terutama diri sendiri. Bila Anda mengkritik keras mining Bitcoin dengan argumen-argumen di atas, maka sudahkah kritikan tersebut disampaikan juga ke sektor keuangan pesaing cryptocurrency, terutama Bitcoin dengan sama kerasnya? Sudahkah pihak otoritas menyediakan regulasi dan infrastruktur yang adil untuk penambangan kripto?
Selain pertambangan, investasi kripto juga sering mendapat larangan dan perlakuan yang kurang ramah dari para pembuat kebijakan. Meski demikian, masih ada sebagian negara yang masih ramah terhadap investor kripto. Apa saja itu? Simak ulasan lengkapnya di artikel berjudul, "7 Negara Ramah Investor Kripto, Apakah Indonesia Termasuk?"