Pengaruh January Effect merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan. Tak jarang trader memanfaatkan fenomena ini untuk menjemput rezeki di awal tahun. Bagaimana pendapat ahli?
Pernahkah Anda mendengar istilah January Effect? Jika Anda sering trading saham, tentu istilah ini sudah sangat akrab di telinga. January Effect merupakan fenomena peningkatan harga saham di awal tahun. Sebetulnya, keberadaan January Effect sendiri masih merupakan perdebatan di kalangan trader saham. Beberapa mempercayai adanya fenomena ini, sedangkan sisanya menganggap hal ini hanya mitos belaka. Akan tetapi, jika Anda tertarik untuk mencoba stock trading, maka tak ada salahnya mempelajari pengaruh January Effect.
DI
|
Daftar Isi |
Berkenalan Dengan January Effect
January Effect merujuk pada hipotesis tentang anomali yang terjadi di pasar finansial, dimana harga saham terkerek naik di awal bulan Januari. Penguatan yang terjadi kadang bisa lebih kuat dari pada bulan-bulan yang lain. Pengaruh January Effect cukup besar, sebab banyak trader yang memanfaatkan fenomena ini untuk mendapatkan keuntungan. Umumnya, trader akan membeli sejumlah besar saham di bulan Desember, dengan harapan harganya akan naik berlipat-lipat di awal bulan Januari. Ketika January Effect terjadi, mereka akan menjual aset tersebut supaya profit yang dihasilkan lebih banyak.
Baca juga: Panduan Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula
Fenomena January Effect pertama kali dimulai ketika seorang bankir bernama Sidney B. Wachtel melakukan observasi saham pada tahun 1942. Hasil observasinya kala itu menunjukkan bahwa saham-saham kecil cenderung mendominasi saham-saham besar. Rupanya, hal ini karena saham kecil cukup baik sebelum pertengahan bulan Januari.
Hasil pengamatan ini juga didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan Rozeff dan Kinney mengenai analisis data bursa saham Amerika Serikat (New York Stock Exchange) tahun 1904 sampai 1974. Riset tersebut menunjukkan bahwa return saham lebih besar lima kali lipat, khususnya pada saham-saham yang kapitalisasinya kecil. Return saham di bulan Januari adalah sebesar 3.48%, lebih tinggi daripada di bulan-bulan selain Januari yang rata-ratanya hanya 0.42%. Bisa disimpulkan, hasil profit pada Januari lebih besar lima kali lipat dibandingkan bulan-bulan lainnya pada periode penelitian.
Selain studi di atas, masih ada beberapa penelitian lagi yang membahas tentang pengaruh January Effect. Salah satunya dilakukan oleh firma investasi Salomon Smith Barney. Penelitian ini melakukan studi analisis data saham dari tahun 1972 sampai 2002 dan menemukan bahwa pertumbuhan nilai saham berkapitalisasi rendah terus mengalahkan saham berkapitalisasi tinggi atau saham Blue Chip.
Meskipun studi ini terkesan mendukung penelitian yang dilakukan oleh Rozeff dan Kinney, tetapi ada beberapa hal yang justru melawan penelitian sebelumnya. Dalam riset Barney, ditemukan bahwa harga saham yang melambung tinggi di bulan Januari cenderung berkinerja buruk di bulan-bulan berikutnya. Karena itu, Barney berasumsi bahwa pengaruh January Effect kemungkinan bukanlah hal yang cukup penting dalam trading saham.
Mengapa January Effect Terjadi?
Sebetulnya, tidak ada yang mengetahui alasan pasti mengapa January Effect bisa terjadi. Apakah memang fenomena ini nyata, ataukah hanya imbas dari markup yang dilakukan pada akhir tahun. Namun, ada beberapa teori yang dianggap bisa menjelaskan mengapa fenomena tahunan ini bisa terjadi. Tapi perlu diingat bahwa ini merupakan asumsi semata, bukan alasan sesungguhnya mengapa January Effect terjadi.
1. Trader Memborong Aset
Salah satu teori penyebab January Effect adalah bonus akhir tahun. Beberapa ahli berpendapat jika banyak trader yang memanfaatkan bonus akhir tahun mereka untuk memborong saham di pasar. Jika banyak pelaku pasar yang membeli, sudah pasti harga saham pun menjadi naik di bulan Januari, dan inilah yang menyebabkan harga saham bisa naik di awal tahun. Tak jarang, trader menjual saham-saham berkapitalisasi rendah dengan alasan menghindari pajak di akhir tahun. Lalu, saat awal tahun mereka kembali membelinya sehingga berdampak pada kenaikan harga saham tersebut.
Baca juga: 5 Strategi Unik Trading Saham Demi Profit Menarik
2. Window Dressing
Selain karena trader yang memborong aset di akhir tahun, masih ada teori lain yang menyebabkan January Effect terjadi, yakni Window Dressing. Sebagai catatan, Window Dressing merujuk pada strategi yang digunakan oleh manajer investasi untuk memperbaiki portofolionya sebelum dipresentasikan kepada klien. Umumnya, mereka akan menjual saham-saham yang merugi, kemudian membeli saham berharga tinggi di akhir tahun. Dengan demikian, portofolio aset mereka akan terlihat memiliki return yang cukup meyakinkan.
3. Efek Psikologis
Selain kedua hal di atas, efek psikologis juga menjadi salah satu penyebab mengapa harga saham bisa naik di bulan Januari. Karena beberapa trader mempercayai dengan sungguh-sungguh bahwa January Effect memang ada, maka mereka pun membeli saham pada akhir tahun. Di sisi lain, ada juga trader yang melakukan resolusi akhir tahun untuk mulai membeli saham pada bulan Januari. Hal ini juga berimbas pada naiknya harga saham saat awal tahun.
Histori Pergerakan Saham di Bulan Januari
Hingga kini, pengaruh January Effect untuk harga saham masih menjadi perdebatan. Benarkah setiap tahun harga memang naik? Untuk itu, mari cermati grafik IHSG berikut. Chart ini merupakan rekaman pergerakan indeks saham Indonesia dalam time frame 1 minggu mulai dari tahun 2018 sampai 2022. Untuk mencermatinya, cukup perhatikan saja periode bulan Januari yang ditunjukkan dari kotak berwarna hijau dan merah.
Baca juga: 5 Chart Gratis Terbaik Untuk Analisa Saham
Pertama, pada akhir tahun 2017, harga saham ditutup di angka 6353.74. Lalu, pada minggu pertama bulan Januari 2018 (kotak pertama), harga menunjukkan tanda-tanda penguatan yang ditandai dengan candlestick body pendek dengan sumbu panjang. Harga pun berhasil ditutup pada 6370.06. Tak berhenti sampai di situ, harga kembali bergerak naik dan berhasil mencapai Auto Rejection Atas (ARA) di 6660.62. Setelah itu, harga terkoreksi ketika memasuki bulan Februari.
Lalu bagaimana pada tahun 2019? Tak jauh berbeda, harga saham pada awal bulan Januari berhasil ditutup di angka 6448.16 pada minggu pertama. Kemudian, harga masih lanjut menguat selama 4 minggu berturut-turut hingga mencapai puncaknya di kisaran 6538.64. Namun, berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2018, harga justru bergerak sideways di bulan-bulan berikutnya sebelum merosot di bulan Mei.
Perjalanan harga saham pada tahun 2020 cukup menarik untuk disimak. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana harga naik di awal tahun, IHSG justru bergerak sideways. Indeks tertahan di kisaran 6274.94 sebelum akhirnya anjlok ke 4194.94 di bulan Maret. Lalu apakah ini berarti pengaruh January Effect tidak berlaku pada waktu itu? Bisa saja. Namun, perlu diingat bahwa ada faktor eksternal yang berperan. Pasalnya, kala itu dunia sedang dihebohkan oleh kemunculan virus COVID-19. Virus ini sendiri baru dinyatakan resmi masuk Indonesia di bulan Maret. Bisa jadi, itulah yang menyebabkan harga saham memasuki Auto Rejection Bawah (ARB) di bulan tersebut.
Baca juga: Cara Menjual Saham ARB (Auto Reject Bawah)
Memasuki tahun 2021, harga saham kembali menunjukkan penguatan dan berhasil mencapai 6373.61 di minggu pertama Januari. Sayangnya, harga anjlok dua minggu berikutnya dan bahkan sempat diperdagangkan di 5862.35. Meskipun begitu, IHSG akhirnya kembali menguat dan berhasil mencapai 6151.73 di penghujung bulan Januari.
Perjalanan Indeks saham Indonesia di tahun 2022 memang belum bisa sepenuhnya dijadikan acuan terkait pengaruh January Effect. Tetapi, jika ditilik dari minggu awal tahun ini, harga menunjukkan pergerakan yang menjanjikan dan sukses mencapai angka 6701.32 pada penutupan minggu pertama bulan Januari.
Pendapat Ahli Mengenai January Effect
Diskusi mengenai pengaruh January Effect membuat banyak trader tak yakin untuk membeli aset di akhir tahun guna dijual pada awal tahun. Sebetulnya, apakah fenomena ini dapat menjadi acuan untuk menyusun strategi trading saham?
Menjawab hal ini, Burton Malkiel yang merupakan penulis "A Random Walk Down Wall Street" mengatakan bahwa anomali seperti ini tidak bisa dijadikan acuan pasti untuk para trader yang mengharapkan hasil maksimal. Ia juga mengatakan bahwa profit yang didapatkan saat January Effect tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan transaksi.
Perlu diingat bahwa ada banyak hal yang dapat mempengaruhi naik turunnya harga suatu aset. Misalnya, kondisi politik yang berkaitan langsung, pandemi, maupun hal-hal lain yang berpotensi mengubah kondisi ekonomi suatu negara. Faktor-faktor ini tak boleh dikesampingkan saat menyusun strategi trading. Kenaikan harga pada awal tahun bisa saja terjadi, tetapi sebaiknya tak dijadikan acuan utama dalam analisis. Jangan beranggapan bahwa harga saham pasti akan naik di awal tahun, sehingga langsung memborong sejumlah besar saham yang belum terlalu jelas fundamentalnya di akhir tahun. Jangan lupa lakukan diversifikasi aset dan manajemen risiko supaya tak rugi di awal tahun.
Baca juga: Mencari Harga Saham Murah Dengan Analisa Fundamental
Kesimpulan
Pengaruh January Effect di kalangan trader saham hingga kini masih menjadi perdebatan. Beberapa sangat meyakini adanya fenomena ini dan mungkin saja memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan besar di awal tahun. Tetapi, beberapa ahli justru beranggapan bahwa hal ini merupakan anomali saja dan tidak sebaiknya dijadikan acuan untuk menyusun strategi. Meskipun memang ada probabilitas bahwa harga akan melonjak di awal tahun, jangan lupa bahwa pergerakan harga di bulan-bulan lain juga layak untuk diperhatikan.
Selain menerapkan strategi trading terbaik, faktor lain yang menjamin kesuksesan trading saham adalah pemilihan emiten yang tepat. Untuk itu, sebaiknya simak panduan sederhana memilih saham terbaik bagi pemula.