Apakah peningkatan inflasi yang ramai dibicarakan belakangan ini bisa berakibat hiperinflasi? Agar tidak overthinking tanpa alasan yang jelas, mari pahami dulu apa itu hiperinflasi dan contoh-contoh kasusnya.
Pernahkah Anda mendengar tentang hiperinflasi? Jika terjadi hiperinflasi, harga sepotong roti yang mulanya Rp5,000 di hari Senin bisa seratus kali lipat lebih mahal saat hari Selasa. Ya, hiperinflasi bisa menyebabkan harga barang-barang konsumsi naik secepat kilat dalam waktu singkat, seperti yang terjadi di Zimbabwe pada tahun 2000-an. Kira-kira, apa penyebabnya?
DI
|
Daftar Isi |
Apa Itu Hiperinflasi dan Dampaknya
Hiperinflasi terjadi ketika harga barang dan jasa meningkat lebih dari 50 persen per bulan. Jika sudah menyentuh angka ini, inflasi tak lagi terkendali. Harga-harga barang dan jasa melonjak dengan sangat cepat, tetapi daya beli menurun karena tidak ada kenaikan pendapatan secara umum.
Ketika terjadi hiperinflasi, perilaku konsumen akan berubah. Misalnya, untuk menghindari membayar lebih mahal di masa depan, orang akan mulai menimbun barang saat itu juga. Hal tersebut akan menciptakan kelangkaan barang-barang yang ditimbun.
Awalnya, orang akan menimbun barang-barang tahan lama seperti mobil atau mesin cuci. Namun jika hiperinflasi terus berlanjut, orang akan mulai menimbun barang-barang mudah busuk seperti roti dan susu. Akibatnya, pasokan barang menjadi langka dan lebih mahal. Otomatis, perekonomian menjadi kacau.
Akibat hilangnya nilai uang tunai, tabungan orang-orang pun menjadi tak berarti. Orang yang lebih tua akan rentan terhadap dampak hiperinflasi. Pada akhirnya, bank dan pemberi pinjaman akan bangkrut karena orang-orang berhenti menyetor uang di bank.
Hiperinflasi juga akan membuat nilai mata uang turun karena pengaruh suku bunga. Importir akan mengalami kesulitan karena harga barang asing akan melonjak. Tingkat pengangguran pun meningkat saat banyak perusahaan mulai gulung tikar.
Penerimaan pajak pemerintah akan turun dan mereka mulai kesulitan menyediakan layanan dasar. Alih-alih memperketat suplai uang untuk menghentikan inflasi, pemerintah justru mencetak lebih banyak uang. Hal ini malah akan memperburuk dampak hiperinflasi.
Namun, ada juga beberapa pihak yang bisa mendapatkan keuntungan dari situasi hiperinflasi. Pertama, mereka yang memiliki utang. Akibat nilai mata uang merosot, utang mereka pun menjadi kurang bernilai. Kedua, eksportir. Jatuhnya nilai mata uang lokal membuat produk ekspor lebih murah dibandingkan pesaing asing. Eksportir juga akan mendapatkan mata uang asing yang nilainya meningkat saat mata uang lokal turun.
Penyebab Hiperinflasi
Secara umum, penyebab hiperinflasi ada dua, yaitu peningkatan jumlah uang yang beredar dan inflasi tarikan permintaan. Faktor pertama terjadi ketika pemerintah mulai mencetak uang untuk membayar belanja negara. Hal ini akan menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat, sehingga harga barang juga akan naik.
Faktor lainnya adalah inflasi tarikan permintaan yang terjadi ketika permintaan barang melebihi penawarannya, sehingga harga barang menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena meningkatnya belanja konsumen akibat pertumbuhan ekonomi, kenaikan ekspor yang tiba-tiba, atau peningkatan pengeluaran pemerintah.
Kedua faktor ini sering terjadi bersamaan dan diperparah dengan langkah pemerintah atau bank sentral yang justru mencetak lebih banyak uang. Alhasil, terlalu banyak uang yang beredar sehingga membuat harga barang naik secara signifikan. Nilai uang pun tak ada artinya lagi.
Ketika konsumen menyadari situasi tersebut, mereka akan mengantisipasi adanya inflasi yang berkelanjutan dan mulai membeli lebih banyak barang untuk menghindari harga yang lebih tinggi di masa depan. Permintaan yang meningkat ini akan memperburuk situasi inflasi, terutama jika terjadi kelangkaan.
Hiperinflasi Zimbabwe
Salah satu negara terdampak hiperinflasi yang paling terkenal adalah Zimbabwe. Pada tahun 2004-2009, Zimbabwe mengalami hiperinflasi karena pada saat itu, pemerintah Zimbabwe, Robert Mugabe, mencetak lebih banyak uang untuk mengkompensasi jatuhnya produksi pertanian dan redistribusi tanah yang kontroversial.
Ditambah, pemerintah Zimbabwe saat itu juga butuh uang untuk membiayai perang di Kongo. Tingkat inflasi yang terjadi di Zimbabwe saat itu diperkirakan mencapai 98 persen sehari. Artinya, harga barang bisa naik dua kali lipat setiap 24 jam.
Setelah inflasi bulanan mencapai puncaknya di angka 79.6 miliar persen, pemerintah Zimbabwe akhirnya menghapus dolar Zimbabwe dan mulai menggunakan dolar AS sebagai alat tukar. Hal ini terjadi pada tahun 2009. Peralihan tersebut membawa stabilitas moneter selama beberapa tahun, hingga Reserve Bank of Zimbabwe tak mampu lagi memenuhi permintaan cash dolar AS.
Awal tahun 2019, bank sentral Zimbabwe pun memperkenalkan kembali dolar Zimbabwe. Akibatnya, terjadi devaluasi yang sangat cepat. Uniknya, para pelaku bisnis seperti pemilik restoran cepat saji punya cara kreatif, yakni menggunakan "uang kupon" berbentuk kertas yang bisa dipakai untuk belanja di tempat mereka lagi.
Misalnya, Anda membeli satu paket ayam goreng dan soda seharga USD3.5. Anda membayarnya menggunakan uang pecahan USD5. Alih-alih mendapat kembalian USD1.5, Anda justru akan mendapat secarik kertas bertuliskan "uang kupon" berisi nilai kembalian yang seharusnya Anda dapat. Namun, uang kupon itu bisa Anda pakai untuk membeli makanan lagi di restoran tersebut.
Hiperinflasi Jerman
Jerman, khususnya Republik Weimar, juga pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1920-an. Selama Perang Dunia I, jumlah papiemark Jerman meningkat empat kali lipat. Namun di akhir tahun 1923, jumlahnya semakin naik hingga miliaran kali lipat. Dalam kurun waktu antara pecahnya perang dan November 1923, Reichsbank Jerman mengeluarkan 92.8 triliun Papiemark. Selama periode tersebut, nilai mata uangnya pun memburuk dari sekitar empat dolar menjadi satu triliun dolar.
Pada awalnya, stimulus fiskal sempat menurunkan biaya ekspor dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun ketika perang berakhir, Sekutu mengejar Jerman untuk membayar pampasan perang sebesar 132 miliar mark.
Sektor produksi pun runtuh dan menyebabkan kekurangan barang terutama makanan. Akibat kelebihan uang tunai yang beredar sementara pasokan barang sedikit, harga barang sehari-hari naik dua kali lipat setiap 3.7 hari. Tingkat inflasi mencapai 20.9 persen per hari. Petani dan produsen barang yang lain mengalami keuntungan signifikan, tetapi sebagian besar orang hidup dalam kemiskinan atau lari ke luar negeri.
Hiperinflasi Venezuela
Contoh terbaru hiperinflasi terjadi di Venezuela. Pada tahun 2013, harga barang di Venezuela meningkat sebesar 41 persen, dan pada tahun 2018 inflasi mencapai 65,000 persen.
Mereka mempromosikan mata uang kripto baru bernama "Petro" karena bolivar Venezuela hampir kehilangan seluruh nilainya terhadap dolar AS. Tingkat pengangguran meningkat menjadi lebih dari 20 persen, sama dengan tingkat di Amerika Serikat selama The Great Depression.
Awal mula hiperinflasi Venezuela adalah ketika mantan Presiden Hugo Chávez memberlakukan pengendalian harga untuk makanan dan obat-obatan. Namun, harga yang ditetapkan begitu rendah sehingga memaksa perusahaan domestik keluar dari bisnis. Sebagai tanggapan, pemerintah pun membayar untuk impor.
Selain itu, harga minyak jatuh di tahun 2014 dan mengikis pendapatan perusahaan minyak yang dimiliki pemerintah. Ketika pemerintah kehabisan uang, mereka mulai mencetak lebih banyak uang.
Pada tahun 2016, utang luar negeri Venezuela mencapai sekitar USD100 miliar. Dengan terus runtuhnya perekonomian, negara ini menghadapi masalah besar dalam membayar utang. Hingga akhir tahun 2021, Venezuela masih terus mengalami hiperinflasi.
Akankah Hiperinflasi Terulang Lagi?
Sejumlah negara saat ini terpantau mengalami peningkatan inflasi yang berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya Indonesia, bahkan Amerika Serikat pun sedang bergumul dengan kenaikan harga-harga. Inflasi di Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran banyak pihak karena posisi negara tersebut sebagai pemilik perekonomian terbesar di dunia.
Namun, tingkat inflasi saat ini menunjukkan bahwa AS tidak dalam kondisi hiperinflasi (data CPI AS saat artikel ini ditulis hanya sekitar 8 persen dalam basis tahunan). Bahkan, inflasi yang ringan mungkin baik untuk pertumbuhan ekonomi.
Untuk mencegah hiperinflasi di Amerika, Federal Reserve menggunakan kebijakan moneter. Tugas utama The Fed adalah mengendalikan inflasi sambil menghindari resesi. Hal ini dicapai dengan cara memperketat atau melonggarkan pasokan uang di pasaran.
The Fed menargetkan inflasi sebesar 2 persen per tahun. Jika tingkat inflasi inti melebihi 2 persen, maka The Fed akan menaikkan suku bunga. The Fed juga akan menggunakan alat kebijakan moneter lainnya untuk memperketat pasokan uang dan menurunkan harga kembali.
Meski jarang terjadi, banyak orang yang masih khawatir dengan kemungkinan yang ada. Jika suatu saat hiperinflasi memang benar-benar terjadi, ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk melindungi aset.
Pertama, biasakan mengelola uang dengan baik. Manajemen keuangan yang bagus akan membantu Anda melewati masa-masa inflasi. Kedua, persiapkan diversifikasi aset sejak dini. Ketiga, pastikan paspor Anda selalu update. Hal ini mungkin dibutuhkan ketika hiperinflasi di negara Anda sudah semakin terlihat.
Ancaman hiperinflasi memang menjadi kekhawatiran tersendiri. Namun, ada satu trik rahasia untuk mengatasi inflasi dengan teknik compounding. Teknik ini terbukti efektif sehingga bisa diandalkan untuk melindungi kekayaan Anda di tengah situasi inflasi.