Sejumlah regulasi dari BEI dan Bapepam membatasi aksi short selling saham di Indonesia. Berikut alasannya.
Saat pasar modal pertama berdiri di Belanda pada 1602, regulasi mengenai pasar modal belum banyak seperti sekarang. Longgarnya aturan transaksi saham pada masa itu membuka peluang untuk terjadinya short selling saham. Short selling kemudian dikenal sebagai salah satu manipulasi atau kejahatan yang ada di pasar modal.
Namun apa sebenarnya yang disebut praktik short selling?
Short selling adalah menjual saham tanpa memiliki saham perusahaan lebih dulu. Artinya, pelaku short selling melakukannya lewat utang. Investor atau trader meminjam dana (on margin) kepada perusahaan efek untuk menjual saham (yang belum dimiliki) dengan harga tinggi, agar bisa membelinya kembali dan mengembalikan pinjaman saham saat harganya turun. Short seller dinilai tidak fair karena ketika orang-orang menderita kerugian akibat turunnya harga saham selama ekonomi memburuk, mereka lantas menjadi kaya.
Sejarah Short Selling
Pada 1610, praktik short selling tidak diperbolehkan. Asal muasalnya, seorang short seller pertama bernama Isaac Le Maire melakukan short selling atas The Dutch East India Company, sehingga ia dapat banyak keuntungan. Namun karena suatu alasan, short selling diizinkan kembali pada tahun 1850-an.
Jesse Livermore dan Bernard Baruch adalah dua short seller legendaris asal Amerika Serikat. Pada 1097, Jesse Livermore melakukan short selling pada saham Union Pacific Railroad dan mendapatkan keuntungan sebesar 3 juta dolar. Ia bukan seorang lulusan bidang keuangan, namun ia ahli dalam hitungan angka dan dapat menganalisis saham dengan cepat. Jesse juga penulis buku Reminiscenes of a Stock Operator. Sementara itu, Bernard Barch adalah seorang ahli keuangan sekaligus penulis buku Short Sales and The Manipulation of Securities.
Short seller dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis di era Great Depression 1929, Crash 1987, runtuhnya saham-saham dotcom pada 2000, dan terakhir mereka menjadi penyebab rontoknya saham-saham lembaga keuangan di Amerika Serikat pada 2008.
Short Selling di Indonesia
Short seller dicurigai memiliki dorongan dan insentif besar untuk menurunkan harga saham. Demi menurunkan harga saham, short seller diduga menyebarkan rumor palsu. Maka dari itu, mereka punya reputasi kurang baik di antara kalangan pelaku pasar modal.
Pada 6 Oktober 2008, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menutup fasilitas short selling karena dianggap menjadi penyebab jatuhnya IHSG di awal September 2008. Saat itu, IHSG merosot lebih dari 400 poin.
Selain itu, pada 2000, aksi short selling sempat menghebohkan pasar modal Indonesia yakni pada kasus Bank Pikko. Short seller saat itu memprediksi harga saham Bank Pikko akan mengalami penurunan, lalu mereka melakukan transaksi short selling. Akibat dari transaksi tersebut, 52 dari 127 perusahaan efek gagal menyerahkan saham Bank Pikko dan Bapepam menjatuhkan sanksi sebesar Rp1 miliar kepada para pelaku short selling tersebut.
Landasan Hukum Mengenai Short Selling di Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) mencari berbagai cara agar harga saham tidak jatuh terlalu dalam. Lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengeluarkan aturan mengenai larangan anggota bursa (Broker) melakukan transaksi short selling.
Namun saat ini, BEI melonggarkan larangan tersebut dan mengizinkan short selling di tingkat investor ritel untuk meningkatkan likuiditas transaksi saham di Indonesia. Aktivitas short selling ini diatur dalam dalam Peraturan Bursa Efek Indonesia Nomor II-H tentang Persyaratan dan Perdagangan Efek dalam Transaksi Marjin dan Transaksi Short Selling, dan Peraturan Bursa Efek Indonesia Nomor III-I tentang keanggotaan Marjin dan Short Selling, serta Peraturan Bapepam dan LK Nomor V.D 6 tentang Pembiayaan Transaksi oleh Perusahaan Efek bagi Nasabah dan Transaksi Short selling oleh perusahaan Efek.
Berpedoman pada aturan-aturan tersebut, tidak semua investor ritel bisa melakukan short selling, karena ada kondisi-kondisi tertentu yang perlu dipenuhi sebelum permintaannya untuk melakukan short selling dikabulkan. Dilansir dari CNBC Indonesia yang mengutip pernyataan Hasan Fawzi selaku Direktur Pengembangan BEI, investor yang ingin menjadi short seller harus mengindikasikan transaksi secara spesifik saat memasukkan order, lalu sebelumnya perusahaan efek harus memiliki kerja sama dengan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) untuk pinjam meminjam efek. Selanjutnya, AB (Anggota Bursa) harus bisa memilih nasabah yang dianggap eligible untuk bisa melakukan transaksi tersebut.
Selain itu, tidak semua emiten yang ada bisa digunakan untuk short selling. Berdasarkan peraturan BEI, saham yang bisa dimanfaatkan short seller akan masuk dalam Daftar Efek Short Sell yang biasanya selalu di-update secara berkala setiap bulan. Pada Oktober 2019 misalnya, Daftar Efek Short Sell hanya memuat satu saham yakni Communication Cable Systems Indonesia Tbk (CCSI), menggantikan daftar saham bulan sebelumnya yang meliputi CFIN, DILD, DSFI, dan TINS. Update mengenai Daftar Efek Short Sell ini bisa didapat di halaman Data Saham Marjin dari situs IDX.
Apabila Anda menginginkan kemudahan transaksi short-selling yang sudah pasti fleksibel, trading forex bisa menjadi solusi jitu. Order buy dan sell bisa ditempatkan hanya dengan menekan satu tombol, tak perlu menunggu waktu antrian ataupun memenuhi persyaratan tertentu. Pelajari potensi trading forex selengkapnya di Panduan Trading Forex Untuk Pemula.